Oleh: Amir Faisal (Mindset developer, Business Coach and Book Writer)
Kalau ada orang yang mengatakan bahwa dirinya miskin karena takdir, sama halnya dia telah menuduh Tuhan berbuat tidak adil padanya, karena pada kenyataannya di dunia ini banyak orang yang ditakdirkan jadi kaya raya. Seandainya tuduhannya betulpun, bahwa kaya dan miskin adalah takdir Tuhan, dia sendiri juga tidak tahu termasuk orang yang ditakdirkan kaya atau miskin. Kenapa malah buru-buru menyimpulkan bahwa dirinya telah ditakdirkan miskin?
Apa yang dimaksud dengan kekayaan itu?
Arti kekayaan adalah kepemilikan harta dan aset lainnya. Semakin banyak, maka seseorang akan semakin kaya.
Jadi artikel ini tidak membicarakan tentang kaya hati. Tetapi kenapa orang bisa kaya dan yang lain tidak. Atau kenapa orang bisa kaya, kemudian tidak lama kemudian jadi miskin lagi, bangkrut, dan bahkan banyak utang?
Mindset kaya dan miskin
Menurut Milton Erickson, masa lalu dan pengalaman seseorang itu memiliki struktur dan membentuk Paradigma berfikir.
Beruntunglah jika Anda dibesarkan oleh lingkungan yang tidak mengkerdilkan Mindset Anda menjadi miskin. Semakin sering seseorang menerima pengalaman pahit, maka akan semakin kuat pikiran, anggapan ataupun keyakinan dalam dirinya, bahwa ia memang sudah bernasib demikian dan terkadang ada yang menyalahkan situasi atau orang lain.
Terdapat pola-pola tertentu yang bersifat konsisten pada orang-orang kaya ataupun orang-orang miskin yang diakibatkan oleh peta mental atau peta pikiran masing-masing, yang bersemayam di otaknya yang menciptakan “cetak biru”
Ternyata orang-orang sukses dan kaya memiliki “cetak biru” berupa paradigma yang berbeda dengan orang miskin, dimana cara mereka memandang dunia atau realitas kehidupan menyebabkan mereka mampu melakukan tindakan-tindakan yang luar biasa yang mengantarkan mereka pada kesuksesannya itu.
Oleh karena itu, satu-satunya cara untuk menolong diri sendiri adalah menyelamatkan diri dari jebakan mental block atau dengan merubah pikiran yang digunakan untuk merespon dan mensikapi segala kejadian dan membangun “cetak biru” baru yang sama sekali berbeda dengan yang sebelumnya. Karena selama kita menggunakan cetak biru yang lama (dengan pola gagal), maka kita akan memiliki anggapan-anggapan dan keyakinan yang lama dalam merespon kejadian, sehingga membuat kita selalu mengambil keputusan dan melakukan tindakan yang sama, serta akan menghasilkan kegagalan-kegagalan yang sama pula.
Baca Juga : Bangsa Butuh Kebijakan Konkret, Bukan Propaganda Opini Tentang Freeport
CETAK BIRU > BELIEF > MINDSET > RESPON > TINDAKAN > HASIL
Beberapa survei terhadap orang-orang kaya membuktikan ternyata kekayaan mereka tidak terkait dengan jenis usaha yang dipilih, alternatif dan besarnya modal yang mereka miliki ataupun situasi ekonominya. Apapun pilihan dan kondisinya, mereka tetap mampu “mencetak” uang dalam jumlah yang besar. Mereka umumnya pernah mengalami kebangkrutan, tetapi dalam tempo yang tidak lama bisa kembali menjadi kaya. Jadi bukan pada jenis usaha atau situasi yang dihadapi tetapi tergantung pada pola pikir mereka dalam menyikapi situasi itu.
Kenapa bisa demikian? Karena, walaupun orang-orang kaya itu kehilangan uang mereka dalam jumlah yang sangat besar, tetapi mereka tidak pernah kehilangan “pola pikir besar” nya. Saya pernah meeting dengan salah seorang kaya di negeri ini dalam sebuah kegiatan sosial, dimana dia tetap menyumbangkan uang ratusan juta rupiah, walaupun habis merugi hampir Rp.1 Trilyun. Bayangkan seandainya Anda yang mengalami kerugian seperti itu, masih terpikirkankah untuk memberikan sumbangan? Orang-orang kaya sudah terbiasa berfikir dalam skala besar. Jika mereka sudah biasa mendapat keuntungan jutaan dolar, maka kerugian dalam jumlah segitu, juga dianggap hal biasa.
Konsep Tentang Kekayaan & Uang
Bagi Orang-orang kaya, kekayaan merupakan konsep hidup, bukan sekedar keinginan atau impian seperti kebanyakan orang.
Sebab adanya konsep, akan menciptakan visi hidup. Konsep itu merupakan salah satu bentuk “cetak biru” yang sudah tersusun dan teraplikasi. Jika menjadi kaya hanya sekedar sebuah keinginan ataupun impian, maka ia akan dengan mudah dibajak oleh pikiran bawah sadar kita. Banyak orang yang secara sadar ingin menjadi kaya, tetapi terbajak oleh pikiran bawah sadarnya, sehingga gagal menjadi kaya.
Dibawah ini disajikan beberapa kasus hambatan menjadi kaya;
Pada mulanya, seseorang begitu gigih mencari uang, tetapi ketika sudah mencapai jumlah tertentu, dia menjadi kehilangan motivasi yang sangat mempengaruhi kinerjanya, sehingga pendapatannya menurun dengan drastis. Begitu orang itu melihat rekeningnya mulai menipis, barulah dia bersemangat lagi mencari uang hingga mencapai jumlah tertentu, kemudian semangatnya menurun lagi. Begitu seterusnya.
Ada orang yang sebenarnya berbakat bisnis. Pandai mencari peluang dan pandai menjalin relasi ataupun menjual. Tetapi entah kenapa, ia tidak pernah bisa mendapat untung besar. Setiap kali ia akan mengambil keputusan untuk mengambil margin keuntungan, ada semacam perasaan bersalah yang mengganggu pikirannya untuk mengambil untung besar. Akhirnya dia memutuskan untuk mengambil keuntungan yang kecil saja, tetapi ia merasa tenteram.
Ada juga orang yang giat bekerja mencari uang, tetapi setelah uang itu terkumpul, tiba-tiba seperti ada sesuatu yang mendorong orang tersebut untuk cepat-cepat menghabiskannya lagi, dengan berbelanja barang-barang mewah, sehingga uangnya habis lagi. Kemudian giat lagi, berbelanja lagi dan habis lagi. Demikian seterusnya.
Pada ketiga kasus diatas, walaupun pikiran sadar orang-orang itu ingin menjadi orang kaya, tetapi dalam bawah sadarnya, mereka sebenarnya takut, merasa bersalah, atau bahkan marah dengan uang dan kekayaan. Pengalaman negatif masa lalu yang terpendam di alam bawah sadar seperti rasa takut, rasa bersalah atau bahkan rasa marah tiba-tiba muncul begitu saja di permukaan ketika memiliki kekayaan.
Banyak keluarga dari orang tua kandung kita yang hidup rukun dan damai ketika kakek nenek kita masih hidup. Setiap ada acara keluarga selalu berkumpul dalam suasana suka cita. Tetapi sesudah sepasang kakek nenek itu meninggal, suasananya berubah menjadi panas dan hampir setiap hari mata kita yang masih polos di usia anak-anak, disuguhi pertengkaran demi pertengkaran, yang tidak sedikit berujung di pengadilan dan berakibat putusnya hubungan keluarga. Apa penyebab utamanya? Tidak lain adalah harta warisan. Akibatnya, saat sekarang, pikiran bawah sadar kita akan berusaha mencegah kita, saat akan memiliki harta dalam jumlah besar, karena begitu uang itu terkumpul, berarti akan datang malapetaka. Kita merasa takut yang menyebabkan energi kita menurun drastis dalam mencari uang. Atau terkadang rasa takut itu munculnya sangat halus. Ketika Anda menyimpan uang, apa niat yang terbersit dalam pikiran Anda? Untuk jaga-jaga atau untuk apa? Coba Anda pikirkan, motif jaga-jaga itu termasuk rasa takut bukan? Menurut penelitian, rasa aman dan rasa takut didorong oleh motif yang sama. Apakah tidak lebih baik pikirannya Anda ubah, “Saya simpan uang untuk saat-saat menyenangkan dalam kehidupan saya di masa depan”
Kasus kedua diakibatkan nilai-nilai ketimuran kita yang luhur, tanpa sengaja telah memberikan bias, misalnya pamrih materi/uang dalam memberikan jasa kita pada orang lain kadang-kadang dianggap kurang etis. Padahal, bagi kita yang sering mempekerjakan orang untuk kepentingan diri kita, tentu kita lebih suka apabila kontraprestasinya disebutkan dalam satuan uang, bukan balas budi, yang tidak jelas sampai kapan lunasnya. Oleh karena itu pikiran semacam itu seharusnya di update, bahwa meminta bayaran untuk jasa yang mereka berikan justru meringankan beban pikiran si pemberi kerja sendiri. Jika tidak, setelah menjadi profesional yang layak dibayar dengan harga yang tinggi, pikiran bawah sadar itu akan terus membebani. Dalam berdagang kita seringkali dianjurkan oleh para orang tua untuk mencari keuntungan yang wajar-wajar saja. Padahal harga ditentukan berdasarkan mekanisme pasar. Kalau kita menjual barang dengan harga yang tinggi untuk kualitas yang sama dengan produk sejenis, tentu saja tidak akan laku. Tidak ada istilah wajar dan tidak wajar.
Kemudian kasus yang ketiga, yaitu seseorang yang berbelanja membabibuta menghabiskan uang, bisa jadi disebabkan oleh rasa marahnya terhadap penderitaan pada masa lalunya. Ataupun pernah mendapat perlakuan yang merendahkan harga dirinya yang menyangkut kekayaan. Maka saat ia sudah menguasai uang yang sangat besar, suara bawah sadarnya berkata, “Sudah berapa tahun saya dipandang rendah, kini saatnya saya . . . . “ Pertanyaannya, apakah dengan berbelanja berlebihan dan melakukan investasi secara serampangan akan melepaskan mereka dari penderitaan masa lalu. Tidak! Mereka akan semakin menderita, karena dendam kemarahan itu ternyata tidak pernah kunjung padam, sementara pengeluaran tanpa kendali itu membuat manajemen finansial mereka semakin buruk dan meluncur kepada kebangkrutan.
Baca Juga : MEMALUKAN, Kapolsek Ini Pakai Surat Miskin Masukkan Anak ke SMA Favorit
Persepsi Negatif tentang kekayaan
Kita sering mendengar ungkapan-ungkapan negatif tentang kekayaan, yang seolah-olah merupakan anjuran yang baik, padahal itu salah besar :
– Umumnya orang-orang setelah menjadi kaya, banyak yang berubah sikapnya. (KOREKSI : Berubah sikap, bisa menjadi lebih buruk atau lebih baik)
– Orang tuamu selalu cekcok karena masalah uang (KOREKSI: Mereka cekcok, karena uangnya pas-pasan, sedangkan kebutuhannya banyak)
– Anak kecil jangan mainan uang, kotor, jijik, banyak bakterinya.(KOREKSI: Tidak ada benda di tempat umum yang tidak terkontaminasi bakteri dan yang kotor dan menjijikkan bukan hanya uang)
– “Cari uang itu sulit !” (KOREKSI: Mungkin cara mencarinya yang keliru. Buktinya banyak yang mudah mendapatkan uang)
– “Kalau masih kuliah jangan cari uang dulu, nanti tidak lulus-lulus” (KOREKSI: Banyak mahasiswa abadi yang bukan karena nyambi bekerja ataupun berbisnis)
– Uang adalah akar dari kejahatan dan korupsi (KOREKSI: Akar kejahatan adalah mental, bukan uang. Membangun masjid dan naik haji juga pakai uang. Kenapa tidak disebut, akar ibadah adalah uang?
– “Kalau lihat uang saja, matanya jadi hijau.” (KOREKSI: Asal uang halal dan menjadi haknya dan juga bukan mengemis, why not? )
– Kamu bukan keturunan orang kaya (KOREKSI: Banyak pengusaha sukses dan kaya raya, keturunannya orang miskin)
– Begitu orang itu menjadi kaya, teman-temannya pada menjauh (KOREKSI: Salahnya yang menjauh. Emangnya gua pikirin)
– Biasanya, orang semakin kaya, akan semakin pelit dan egois (KOREKSI: Pelit dan egois adalah watak manusia, kaya ataupun miskin)
Dan seterusnya Anda bisa melakukan koreksi atas sikap dan pandangan yang salah yang mungkin melekat dalam pandangan kita. Selamat Mencoba! (*)
Sumber : Kanigoro.com
Pernyataan kontroversial tentang kekayaan sebagai pilihan sukses dan kemiskinan sebagai takdir sering kali memicu debat panjang.
Bagi sebagian, pernyataan ini mungkin terdengar sebagai generalisasi yang terlalu simplistik, sementara bagi yang lain, itu bisa menjadi pencerahan yang mendorong untuk merenung dan memperbaiki diri.
Dalam menjelajahi topik ini lebih dalam, kita akan membahas beberapa sudut pandang yang berbeda dan mencoba memahami kompleksitas di balik keberhasilan dan kegagalan.
Kemiskinan dan Kegagalan sebagai Takdir
Di sisi lain, beberapa orang cenderung merasa bahwa kegagalan dan kemiskinan adalah takdir yang telah ditetapkan sejak lahir.
Mereka menghadapi hidup dengan keyakinan bahwa nasib mereka sudah ditentukan, dan tidak banyak yang bisa mereka lakukan untuk mengubahnya.
Justifikasi seperti ini dapat menjadi bentuk penghiburan ketika menghadapi kesulitan, tetapi seringkali juga menjadi pembatas bagi pertumbuhan dan perkembangan pribadi.
Menilai hidup sebagai takdir yang tidak dapat diubah dapat menciptakan sikap pasif dan kehilangan semangat untuk mencoba hal-hal baru.
Orang-orang yang terjebak dalam pola pikir ini mungkin merasa bahwa mereka tidak memiliki kendali atas kehidupan mereka dan akhirnya terjerumus dalam siklus kegagalan yang sulit diputuskan.
Penting untuk diingat bahwa takdir tidak selalu berarti nasib yang buruk. Takdir juga mencakup pilihan dan keputusan yang diambil seseorang sepanjang hidup mereka.
Oleh karena itu, merubah takdir tidak selalu berarti mengubah kenyataan yang telah ditetapkan, tetapi lebih pada perubahan sikap dan tindakan yang dapat membentuk masa depan yang berbeda.
Mengubah Paradigma: Usaha, Pilihan, dan Takdir
Seringkali, argumen mengenai kekayaan sebagai pilihan sukses atau kemiskinan sebagai takdir diwarnai oleh paradigma yang perlu kita perbarui.
Melihatnya sebagai konsep yang saling eksklusif mungkin tidak memahami sepenuhnya kompleksitas kehidupan dan faktor-faktor yang memengaruhinya.
Ketika seseorang menghadapi kegagalan atau kesulitan finansial, penting untuk melakukan evaluasi diri yang jujur.
Lihat Money Selengkapnya
Baca: Amsal 30:7-14Jangan berikan kepadaku kemiskinan atau kekayaan. Biarkanlah aku menikmati makanan yang menjadi bagianku. (Amsal 30:8)Bacaan Alkitab Setahun: Wahyu 17-18
Mungkin tidak ada orang yang mau miskin, tetapi pasti banyak yang mau hidup menjadi kaya. Ada banyak penyebab seseorang menjadi miskin atau kaya, entahkah kemalasan dan kerajinan, kebebalan dan kepandaian, atau kejujuran dan kecurangan, tetapi semuanya tidak pernah lepas dari izin Tuhan. Agur bin Yake dalam amsalnya menuliskan hal yang penting dalam permohonannya kepada Tuhan, yaitu jangan memberikan kepadanya kemiskinan atau kekayaan. Meminta jangan diberi kemiskinan adalah hal biasa, tetapi mengejutkan bahwa ia juga meminta jangan diberi kekayaan. Mengapa tidak miskin, tetapi juga tidak kaya? Baginya, ternyata baik kemiskinan maupun kekayaan bisa membawa masalah dan risiko yang berbahaya. Adalah luar biasa ketika ia menyatakan bahwa biarkan ia bisa menikmati makanan yang Tuhan berikan. Tanpa rasa syukur, kekayaan bisa membuat seseorang menyangkal Tuhan. Kekayaan seolah-olah hasil kerja semata sehingga seseorang tidak lagi memerlukan Tuhan dan ia bebas melakukan banyak hal dengan kekayaannya. Sebaliknya, tanpa rasa syukur, kemiskinan bisa membuat seseorang mencuri dan mencemarkan nama Tuhan. Di sekitar kita, tentu kita bisa melihat orang-orang baik yang begitu miskin maupun yang begitu kaya. Tidak jarang hal itu menjadi masalah. Tuhan mengizinkan baik anak-anak-Nya miskin atau kaya. Marilah kita belajar bersyukur dan menikmati apa yang Tuhan berikan, entah kemiskinan entah kekayaan. Itulah yang menjauhkan kita dari penyangkalan dan pencemaran nama Tuhan.
—ANT/www.renunganharian.net
KEMISKINAN ATAU KEKAYAAN BUKAN MASALAHNYA,TETAPI KESANGGUPAN UNTUK BERSYUKUR ITULAH MASALAHNYA
Anda diberkati melalui Renungan Harian?Jadilah berkat dengan mendukung pelayanan kami.Rek. Renungan Harian BCA No. 456 500 8880 a.n. Yayasan Gloria
Pada suatu hari, dua orang tetangga penulis sedang bercakap-cakap di pinggir jalan. Kebetulan mereka memiliki kemampuan ekonomi yang berbeda yakni seorang pejabat sehingga secara ekonomi termasuk golongan mampu dan satunya kurang mampu.”Ajaran Islam itu memerintahkan umatnya agar menjadi umat yang kaya, sebab Islam mengajarkan adanya zakat, infak, sedekah, ibadah haji, dan lain-lain. Bahkan, saat akan shalat pun harus tersedia air dan pakaian untuk menutup aurat yang tentu saja membutuhkan dana untuk membelinya,” kata tetangga yang mampu itu sembari tersenyum.Namun, tetangga yang kurang mampu hanya tertawa lebar mendengarnya. Lalu dia menjawab, “Belum tahu ya… kalau seseorang yang kurang mampu seperti saya akan lebih cepat masuk surga karena pemeriksaannya sebentar. Kalau kaum kaya pasti lama pemeriksaan di akhirat sebab hartanya melimpah, apalagi kalau diperoleh dari jalan korupsi dan manipulasi,” jawabnya.Lantas dia menimpali, “Saya juga orang kaya sebab banyak mobil saya berseliweran di jalan. Tinggal saya tunjuk pasti berhenti. Maksudnya, angkutan kota (angkot),” katanya tertawa ditimpali tertawa lebar dari tetangga yang kaya tersebut.Pertanyaannya, mana yang lebih utama menjadi kaum Muslimin yang kaya atau orang fakir? Tentu kalau kita ditanya masalah itu pasti menginginkan menjadi orang yang kaya. Sesungguhnya dalam ajaran Islam, kedua kelompok itu memiliki kelebihan, kebaikan, termasuk kekurangannya masing-masing.Suatu hari, orang-orang miskin (dari para sahabat Rasulullah) pernah datang menemui Nabi Muhammad SAW. untuk mengadukan nasibnya.”Ya Rasulullah, orang-orang (kaya) yang memiliki harta berlimpah bisa mendapatkan kedudukan yang tinggi (di sisi Allah) dan kenikmatan yang abadi (di surga). Mereka melaksanakan shalat seperti kami melaksanakan shalat dan mereka berpuasa seperti kami berpuasa, tetapi mereka memiliki kelebihan harta yang mereka gunakan untuk menunaikan ibadah haji, umrah, jihad, dan sedekah, sedangkan kami tidak memiliki harta.” (Al-Bukhari Hadits No. 807 dan 5.970 dan Muslim Hadis No. 595)Dari hadits itu, kita bisa menarik benang merah kalau keutamaan orang-orang kaya adalah dapat melakukan ibadah yang tidak bisa dilakukan orang miskin.Ulama terkenal, Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani berkata, “Dalam hadits ini (terdapat dalil yang menunjukkan) lebih utamanya orang kaya yang menunaikan hak-hak (Allah) pada (harta) kekayaannya dibandingkan dengan orang miskin karena berinfak di jalan Allah (seperti yang disebutkan dalam hadits di atas) hanya bisa dilakukan oleh orang kaya.” (Kitab Fathul Baari)Namun, jangan salah juga dalam menyikapi kondisi kemiskinan, sebab orang miskin dalam pandangan Islam juga memiliki keutamaan. Rasulullah SAW. bersabda kepada Aisyah RA.,”Mereka (orang-orang miskin) lebih dahulu 40 masuk ke surga sebelum orang-orang kaya. Wahai Aisyah, janganlah engkau menolak (tidak memberi) seorang miskin walaupun dengan setengah butir kurma! Wahai Aisyah, cintailah orang-orang miskin dan mendekatlah kepada mereka, maka Allah akan mendekatkanmu pada-Nya di Hari Kiamat.” (HR. at-Tirmidzi)Sahabat Abu Dzar RA. berkata,”Rasulullah berwasiat padaku agar mencintai orang-orang miskin dan mendekat pada mereka.” (HR. Imam Ahmad)Bahkan, ada doa nabi yang berkaitan dengan kaum miskin ini yakni,”Ya Allah, hidupkanlah aku sebagai orang miskin, matikanlah aku sebagai orang miskin, dan bangkitkanlah aku sebagai orang-orang miskin pula.”Sesungguhnya seorang Muslim wajib meyakini hidup di dunia dan akhirat tidak akan selamat apabila tidak menaati perintah Allah dan rasul-Nya. Apabila seorang Muslim ditakdirkan Allah memiliki kewenangan dan kekuasaan sehingga berpeluang melakukan korupsi, tetapi tidak dilakukannya karena takut kepada Allah. Dia tidak hanya berpikir dan bertindak untuk waktu sekejap di dunia atau sekadar mengejar kekayaan dan kesejahteraan semu di dunia ini.Sebaliknya apabila Anda diamanahi sebagai pemimpin apa pun tingkatannya, harus digunakan sebagai jalan untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah. Caranya dengan memberdayakan, peduli, dan mengangkat harkat derajat kaum yang tak beruntung. Meskipun pemerintah sudah menggulirkan berbagai kebijakan pro-kemiskinan seperti Jamkesmas, Jamkesda, Raskin, Keluarga Harapan, Bantuan Operasional Sekolah (BOS), maupun bantuan siswa miskin, tetap saja belum bisa mengangkat kehidupan masyarakat miskin. Sungguh ironis ketika kaum tak beruntung belum bisa dipenuhi kebutuhan hidup minimalnya. Namun, para pejabat yang mengurusi kaum miskin malah sebaliknya, sulit menemukan pejabat yang menderita untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya.Idealnya, seorang pemimpin harus berani hidup menderita bukan sebaliknya siap menjadi kaum kaya baru. Jangan berpesta di atas penderitaan lingkungannya. Seraplah suara-suara rakyat yang kadang berkata, “Dalam hidup ini untuk mencari yang haram susah apalagi yang halal.” Akhirnya mereka mencari jalan pintas sebatas untuk mencukupi kebutuhannya. Mereka kurang paham dengan ajaran agamanya, tetapi setiap hari selalu membaca dan mendengar berita soal korupsi dan manipulasi sehingga pemikirannya dipenuhi dengan buruk sangka (suuzan).Kaum yang diberikan kemudahan dalam mencari rezeki Allah sepantasnya bahkan seharusnya jangan langsung dicap sebagai kaum pencinta dunia, apalagi jauh dari Allah. Ajaran Islam tidak melarang umatnya untuk menjadi kaya bahkan dianjurkan untuk kaya. Persoalannya bukan kaya atau miskin, melainkan bagaimana kita mendapatkan kekayaan itu lalu bagaimana membelanjakannya? Kedua, pertanyaan mengenai harta itu akan dikemukakan Allah di persidangan akhirat kelak. Cara mendapatkan kekayaan harus halal dan bersih serta pengeluarannya harus di jalan yang baik. Kita tak bisa membelanjakan harta hasil korupsi di jalan agama Allah, misalnya dengan menyumbang masjid atau pesantren meski alasannya untuk membersihkan diri.Harta yang dibersihkan dengan dana zakat, infak, dan sedekah adalah harta yang dari awalnya didapat dengan cara-cara yang halal. Hanya, dalam harta itu masih terdapat bagian kaum lain yang kurang mampu sehingga wajib kita sisihkan dan bersihkan. Selama ini ada kesan kalau ibadah seperti zakat, infak, sedekah, haji, maupun umrah merupakan pembersih dari harta kita yang didapat dengan cara yang kurang baik.Tentu bagi kaum yang kurang beruntung juga harus mewaspadai adanya peringatan dari Nabi Muhammad SAW. yang menyatakan, kemiskinan cenderung dekat kepada kekufuran. Seseorang yang miskin secara ekonomi lebih mudah diiming-imingi sesuatu agar melaksanakan perbuatan yang jauh dari nilai-nilai Islam. Bahkan, kaum miskin sering dimanfaatkan untuk kepentingan sesaat.Kesimpulannya, semua akan kembali kepada bagaimana menyikapinya. Rasanya kurang tepat kalau dikatakan bahwa Muslim ideal itu adalah yang miskin saja atau yang kaya saja. Yang ideal adalah yang miskin tetapi bersabar dan yang kaya tetapi banyak berinfak serta syukur. Keduanya telah dicontohkan langsung oleh Rasulullah SAW. dan para sahabatnya.Wallahu a’lam. ***H. PUPUH FATHURRAHMAN, Sekretaris Senat UIN Sunan Gunung Djati dan Ketua Dewan Pembina Yayasan Pesantren Raudhatus Sibyan Sukabumi. Sumber, PIKIRAN RAKYAT Edisi Kamis 16 Februari 2012 / 23 Rabiul Awal 1433 H.
Kekayaan sebagai Pilihan
Pertama-tama, mari telaah klaim bahwa kekayaan adalah hasil dari pilihan sukses.
Memang benar bahwa banyak orang kaya dan sukses telah mencapai prestasi mereka melalui perjuangan, kerja keras, dan tekad yang kuat.
Mereka bukan hanya menerima nasib mereka, tetapi aktif berpartisipasi dalam membentuknya.
Sebagai contoh, pengusaha sukses seringkali memiliki cerita perjalanan yang penuh tantangan, mulai dari gagal berkali-kali hingga meraih kesuksesan akhirnya.
Ketika seseorang memilih untuk berjuang, memperbaiki diri, dan tumbuh menjadi lebih baik, mereka memasuki ranah pilihan sukses.
Ini melibatkan tidak hanya kerja keras fisik, tetapi juga pengembangan diri secara pribadi dan profesional. Kesuksesan seringkali merupakan hasil dari kombinasi keterampilan, pengetahuan, dan sikap positif yang memandu seseorang melalui rintangan dan kegagalan.
Penting juga untuk memahami bahwa pilihan sukses tidak selalu sejalan dengan kekayaan materi. Kesuksesan dapat diukur dari berbagai aspek kehidupan, termasuk pencapaian pribadi, kebahagiaan, dan kontribusi positif terhadap masyarakat.
Lihat Money Selengkapnya
Oleh karena itu, menjadi kaya tidak selalu identik dengan keberhasilan, dan sebaliknya, kesuksesan tidak selalu diukur dengan jumlah uang yang dimiliki.