UNDANG-UNDANGNOMOR 19 TAHUN 2016TENTANGPERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
bahwa untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat yang demokratis perlu dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik agar terwujud keadilan, ketertiban umum, dan kepastian hukum;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu membentuk Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik;
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 25A, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (2), Pasal 28E ayat (3), Pasal 28F, Pasal 28G ayat (1), Pasal 28J ayat (2), dan Pasal 33 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4843);
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK.
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4843) diubah sebagai berikut:
1 Di antara angka 6 dan angka 7 Pasal 1 disisipkan 1 satu angka yakni angka 6a sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
Transaksi Elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan Komputer, jaringan Komputer, dan/atau media elektronik lainnya.
Teknologi Informasi adalah suatu teknik untuk mengumpulkan, menyiapkan, menyimpan, memproses, mengumumkan, menganalisis, dan/atau menyebarkan informasi.
Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
Sistem Elektronik adalah serangkaian perangkat dan prosedur elektronik yang berfungsi mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan, menampilkan, mengumumkan, mengirimkan, dan/atau menyebarkan Informasi Elektronik.
Penyelenggaraan Sistem Elektronik adalah pemanfaatan Sistem Elektronik oleh penyelenggara negara, Orang, Badan Usaha, dan/atau masyarakat.
Penyelenggara Sistem Elektronik adalah setiap Orang, penyelenggara negara, Badan Usaha, dan masyarakat yang menyediakan, mengelola, dan/atau mengoperasikan Sistem Elektronik, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama kepada pengguna Sistem Elektronik untuk keperluan dirinya dan/atau keperluan pihak lain.
Jaringan Sistem Elektronik adalah terhubungnya dua Sistem Elektronik atau lebih, yang bersifat tertutup ataupun terbuka.
Agen Elektronik adalah perangkat dari suatu Sistem Elektronik yang dibuat untuk melakukan suatu tindakan terhadap suatu Informasi Elektronik tertentu secara otomatis yang diselenggarakan oleh Orang.
Sertifikat Elektronik adalah sertifikat yang bersifat elektronik yang memuat Tanda Tangan Elektronik dan identitas yang menunjukkan status subjek hukum para pihak dalam Transaksi Elektronik yang dikeluarkan oleh Penyelenggara Sertifikasi Elektronik.
Penyelenggara Sertifikasi Elektronik adalah badan hukum yang berfungsi sebagai pihak yang layak dipercaya, yang memberikan dan mengaudit Sertifikat Elektronik.
Lembaga Sertifikasi Keandalan adalah lembaga independen yang dibentuk oleh profesional yang diakui, disahkan, dan diawasi oleh Pemerintah dengan kewenangan mengaudit dan mengeluarkan sertifikat keandalan dalam Transaksi Elektronik.
Tanda Tangan Elektronik adalah tanda tangan yang terdiri atas Informasi Elektronik yang dilekatkan, terasosiasi atau terkait dengan Informasi Elektronik lainnya yang digunakan sebagai alat verifikasi dan autentikasi.
Penanda Tangan adalah subjek hukum yang terasosiasikan atau terkait dengan Tanda Tangan Elektronik.
Komputer adalah alat untuk memproses data elektronik, magnetik, optik, atau sistem yang melaksanakan fungsi logika, aritmatika, dan penyimpanan.
Akses adalah kegiatan melakukan interaksi dengan Sistem Elektronik yang berdiri sendiri atau dalam jaringan.
Kode Akses adalah angka, huruf, simbol, karakter lainnya atau kombinasi di antaranya, yang merupakan kunci untuk dapat mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik lainnya.
Kontrak Elektronik adalah perjanjian para pihak yang dibuat melalui Sistem Elektronik.
Pengirim adalah subjek hukum yang mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik.
Penerima adalah subjek hukum yang menerima Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dari Pengirim.
Nama Domain adalah alamat internet penyelenggara negara, Orang, Badan Usaha, dan/atau masyarakat, yang dapat digunakan dalam berkomunikasi melalui internet, yang berupa kode atau susunan karakter yang bersifat unik untuk menunjukkan lokasi tertentu dalam internet.
Orang adalah orang perseorangan, baik warga negara Indonesia, warga negara asing, maupun badan hukum.
Badan Usaha adalah perusahaan perseorangan atau perusahaan persekutuan, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum.
Pemerintah adalah Menteri atau pejabat lainnya yang ditunjuk oleh Presiden.
2 Ketentuan Pasal 5 tetap dengan perubahan penjelasan ayat 1 dan ayat 2 sehingga penjelasan Pasal 5 menjadi sebagaimana ditetapkan dalam penjelasan pasal demi pasal UndangUndang ini
3 Ketentuan Pasal 26 ditambah 3 tiga ayat yakni ayat 3 ayat 4 dan ayat 5 sehingga Pasal 26 berbunyi sebagai berikut
Kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang- undangan, penggunaan setiap informasi melalui media elektronik yang menyangkut data pribadi seseorang harus dilakukan atas persetujuan Orang yang bersangkutan.
Setiap Orang yang dilanggar haknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengajukan gugatan atas kerugian yang ditimbulkan berdasarkan Undang-Undang ini.
Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajib menghapus Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak relevan yang berada di bawah kendalinya atas permintaan Orang yang bersangkutan berdasarkan penetapan pengadilan.
Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajib menyediakan mekanisme penghapusan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang sudah tidak relevan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ketentuan mengenai tata cara penghapusan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) diatur dalam peraturan pemerintah.
4 Ketentuan Pasal 27 tetap dengan perubahan penjelasan ayat 1 ayat 3 dan ayat 4 sehingga penjelasan Pasal 27 menjadi sebagaimana ditetapkan dalam penjelasan pasal demi pasal UndangUndang ini
5 Ketentuan ayat 3 dan ayat 4 Pasal 31 diubah sehingga Pasal 31 berbunyi sebagai berikut
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau penyadapan atas Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain.
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atas transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik dari, ke, dan di dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain, baik yang tidak menyebabkan perubahan apa pun maupun yang menyebabkan adanya perubahan, penghilangan, dan/atau penghentian Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang sedang ditransmisikan.
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku terhadap intersepsi atau penyadapan yang dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, atau institusi lainnya yang kewenangannya ditetapkan berdasarkan undang- undang.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan undang-undang.
6 Di antara ayat 2 dan ayat 3 Pasal 40 disisipkan 2 dua ayat yakni ayat 2a dan ayat 2b ketentuan ayat 6 Pasal 40 diubah serta penjelasan ayat 1 Pasal 40 diubah sehingga Pasal 40 berbunyi sebagai berikut
Pemerintah memfasilitasi pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pemerintah melindungi kepentingan umum dari segala jenis gangguan sebagai akibat penyalahgunaan Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik yang mengganggu ketertiban umum, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.(2a) Pemerintah wajib melakukan pencegahan penyebarluasan dan penggunaan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang dilarang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.(2b) Dalam melakukan pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2a), Pemerintah berwenang melakukan pemutusan akses dan/atau memerintahkan kepada Penyelenggara Sistem Elektronik untuk melakukan pemutusan akses terhadap Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar hukum.
Pemerintah menetapkan instansi atau institusi yang memiliki data elektronik strategis yang wajib dilindungi.
Instansi atau institusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus membuat Dokumen Elektronik dan rekam cadang elektroniknya serta menghubungkannya ke pusat data tertentu untuk kepentingan pengamanan data.
Instansi atau institusi lain selain diatur pada ayat (3) membuat Dokumen Elektronik dan rekam cadang elektroniknya sesuai dengan keperluan perlindungan data yang dimilikinya.
Ketentuan lebih lanjut mengenai peran Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (2a), ayat (2b), dan ayat (3) diatur dalam peraturan pemerintah.
7 Ketentuan ayat 2 ayat 3 ayat 5 ayat 6 ayat 7 dan ayat 8 Pasal 43 diubah di antara ayat 7 dan ayat 8 Pasal 43 disisipkan 1 satu ayat yakni ayat 7a serta penjelasan ayat 1 Pasal 43 diubah sehingga Pasal 43 berbunyi sebagai berikut
Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik.
Penyidikan di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan perlindungan terhadap privasi, kerahasiaan, kelancaran layanan publik, dan integritas atau keutuhan data sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Penggeledahan dan/atau penyitaan terhadap Sistem Elektronik yang terkait dengan dugaan tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum acara pidana.
Dalam melakukan penggeledahan dan/atau penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penyidik wajib menjaga terpeliharanya kepentingan pelayanan umum.
Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang:
menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik;
memanggil setiap Orang atau pihak lainnya untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi sehubungan dengan adanya dugaan tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik;
melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik;
melakukan pemeriksaan terhadap Orang dan/atau Badan Usaha yang patut diduga melakukan tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik;
melakukan pemeriksaan terhadap alat dan/atau sarana yang berkaitan dengan kegiatan Teknologi Informasi yang diduga digunakan untuk melakukan tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik;
melakukan penggeledahan terhadap tempat tertentu yang diduga digunakan sebagai tempat untuk melakukan tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik;
melakukan penyegelan dan penyitaan terhadap alat dan/atau sarana kegiatan Teknologi Informasi yang diduga digunakan secara menyimpang dari ketentuan peraturan perundang-undangan;
membuat suatu data dan/atau Sistem Elektronik yang terkait tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik agar tidak dapat diakses;
meminta informasi yang terdapat di dalam Sistem Elektronik atau informasi yang dihasilkan oleh Sistem Elektronik kepada Penyelenggara Sistem Elektronik yang terkait dengan tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik;
meminta bantuan ahli yang diperlukan dalam penyidikan terhadap tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik; dan/atau
mengadakan penghentian penyidikan tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik sesuai dengan ketentuan hukum acara pidana.
Penangkapan dan penahanan terhadap pelaku tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum acara pidana.
Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam melaksanakan tugasnya memberitahukan dimulainya penyidikan kepada Penuntut Umum melalui Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.(7a) Dalam hal penyidikan sudah selesai, Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyampaikan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum melalui Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.
Dalam rangka mengungkap tindak pidana Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik, penyidik dapat berkerja sama dengan penyidik negara lain untuk berbagi informasi dan alat bukti sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
8 Ketentuan Pasal 45 diubah serta di antara Pasal 45 dan Pasal 46 disisipkan 2 dua pasal yakni Pasal 45A dan Pasal 45B sehingga berbunyi sebagai berikut
Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan perjudian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/atau pengancaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan delik aduan.
Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4843) diubah sebagai berikut:1. Di antara angka 6 dan angka 7
disisipkan 1 (satu) angka, yakni angka 6a sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
2. Transaksi Elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan Komputer, jaringan Komputer, dan/atau media elektronik lainnya.
3. Teknologi Informasi adalah suatu teknik untuk mengumpulkan, menyiapkan, menyimpan, memproses, mengumumkan, menganalisis, dan/atau menyebarkan informasi.
4. Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
5. Sistem Elektronik adalah serangkaian perangkat dan prosedur elektronik yang berfungsi mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan, menampilkan, mengumumkan, mengirimkan, dan/atau menyebarkan Informasi Elektronik.
6. Penyelenggaraan Sistem Elektronik adalah pemanfaatan Sistem Elektronik oleh penyelenggara negara, Orang, Badan Usaha, dan/atau masyarakat.
6a. Penyelenggara Sistem Elektronik adalah setiap Orang, penyelenggara negara, Badan Usaha, dan masyarakat yang menyediakan, mengelola, dan/atau mengoperasikan Sistem Elektronik, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama kepada pengguna Sistem Elektronik untuk keperluan dirinya dan/atau keperluan pihak lain.
7. Jaringan Sistem Elektronik adalah terhubungnya dua Sistem Elektronik atau lebih, yang bersifat tertutup ataupun terbuka.
8. Agen Elektronik adalah perangkat dari suatu Sistem Elektronik yang dibuat untuk melakukan suatu tindakan terhadap suatu Informasi Elektronik tertentu secara otomatis yang diselenggarakan oleh Orang.
9. Sertifikat Elektronik adalah sertifikat yang bersifat elektronik yang memuat Tanda Tangan Elektronik dan identitas yang menunjukkan status subjek hukum para pihak dalam Transaksi Elektronik yang dikeluarkan oleh Penyelenggara Sertifikasi Elektronik.
10. Penyelenggara Sertifikasi Elektronik adalah badan hukum yang berfungsi sebagai pihak yang layak dipercaya, yang memberikan dan mengaudit Sertifikat Elektronik.
11. Lembaga Sertifikasi Keandalan adalah lembaga independen yang dibentuk oleh profesional yang diakui, disahkan, dan diawasi oleh Pemerintah dengan kewenangan mengaudit dan mengeluarkan sertifikat keandalan dalam Transaksi Elektronik.
12. Tanda Tangan Elektronik adalah tanda tangan yang terdiri atas Informasi Elektronik yang dilekatkan, terasosiasi atau terkait dengan Informasi Elektronik lainnya yang digunakan sebagai alat verifikasi dan autentikasi.
13. Penanda Tangan adalah subjek hukum yang terasosiasikan atau terkait dengan Tanda Tangan Elektronik.
14. Komputer adalah alat untuk memproses data elektronik, magnetik, optik, atau sistem yang melaksanakan fungsi logika, aritmatika, dan penyimpanan.
15. Akses adalah kegiatan melakukan interaksi dengan Sistem Elektronik yang berdiri sendiri atau dalam jaringan.
16. Kode Akses adalah angka, huruf, simbol, karakter lainnya atau kombinasi di antaranya, yang merupakan kunci untuk dapat mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik lainnya.
17. Kontrak Elektronik adalah perjanjian para pihak yang dibuat melalui Sistem Elektronik.
18. Pengirim adalah subjek hukum yang mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik.
19. Penerima adalah subjek hukum yang menerima Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dari Pengirim.
20. Nama Domain adalah alamat internet penyelenggara negara, Orang, Badan Usaha, dan/atau masyarakat, yang dapat digunakan dalam berkomunikasi melalui internet, yang berupa kode atau susunan karakter yang bersifat unik untuk menunjukkan lokasi tertentu dalam internet.
21. Orang adalah orang perseorangan, baik warga negara Indonesia, warga negara asing, maupun badan hukum.
22. Badan Usaha adalah perusahaan perseorangan atau perusahaan persekutuan, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum.
23. Pemerintah adalah Menteri atau pejabat lainnya yang ditunjuk oleh Presiden.
2. Ketentuan Pasal 5 tetap dengan perubahan penjelasan ayat (1) dan ayat (2) sehingga penjelasan Pasal 5 menjadi sebagaimana ditetapkan dalam penjelasan pasal demi pasal Undang-Undang ini.
3. Ketentuan Pasal 26 ditambah 3 (tiga) ayat, yakni ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) sehingga Pasal 26 berbunyi sebagai berikut:
(1) Kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang- undangan, penggunaan setiap informasi melalui media elektronik yang menyangkut data pribadi seseorang harus dilakukan atas persetujuan Orang yang bersangkutan.
(2) Setiap Orang yang dilanggar haknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengajukan gugatan atas kerugian yang ditimbulkan berdasarkan Undang-Undang ini.
(3) Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajib menghapus Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak relevan yang berada di bawah kendalinya atas permintaan Orang yang bersangkutan berdasarkan penetapan pengadilan.
(4) Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajib menyediakan mekanisme penghapusan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang sudah tidak relevan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Ketentuan mengenai tata cara penghapusan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) diatur dalam peraturan pemerintah.
4. Ketentuan Pasal 27 tetap dengan perubahan penjelasan ayat (1), ayat (3), dan ayat (4) sehingga penjelasan Pasal 27 menjadi sebagaimana ditetapkan dalam penjelasan pasal demi pasal Undang-Undang ini.
5. Ketentuan ayat (3) dan ayat (4) Pasal 31 diubah sehingga Pasal 31 berbunyi sebagai berikut:
(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau penyadapan atas Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain.
(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atas transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik dari, ke, dan di dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain, baik yang tidak menyebabkan perubahan apa pun maupun yang menyebabkan adanya perubahan, penghilangan, dan/atau penghentian Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang sedang ditransmisikan.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku terhadap intersepsi atau penyadapan yang dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, atau institusi lainnya yang kewenangannya ditetapkan berdasarkan undang- undang.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan undang-undang.
6. Di antara ayat (2) dan ayat (3) Pasal 40 disisipkan 2 (dua) ayat, yakni ayat (2a) dan ayat (2b); ketentuan ayat (6) Pasal 40 diubah; serta penjelasan ayat (1) Pasal 40 diubah sehingga Pasal 40 berbunyi sebagai berikut:
(1) Pemerintah memfasilitasi pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Pemerintah melindungi kepentingan umum dari segala jenis gangguan sebagai akibat penyalahgunaan Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik yang mengganggu ketertiban umum, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.
(2a) Pemerintah wajib melakukan pencegahan penyebarluasan dan penggunaan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang dilarang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2b) Dalam melakukan pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2a), Pemerintah berwenang melakukan pemutusan akses dan/atau memerintahkan kepada Penyelenggara Sistem Elektronik untuk melakukan pemutusan akses terhadap Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar hukum.
(3) Pemerintah menetapkan instansi atau institusi yang memiliki data elektronik strategis yang wajib dilindungi.
(4) Instansi atau institusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus membuat Dokumen Elektronik dan rekam cadang elektroniknya serta menghubungkannya ke pusat data tertentu untuk kepentingan pengamanan data.
(5) Instansi atau institusi lain selain diatur pada ayat (3) membuat Dokumen Elektronik dan rekam cadang elektroniknya sesuai dengan keperluan perlindungan data yang dimilikinya.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai peran Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (2a), ayat (2b), dan ayat (3) diatur dalam peraturan pemerintah.
7. Ketentuan ayat (2), ayat (3), ayat (5), ayat (6), ayat (7), dan ayat (8) Pasal 43 diubah; di antara ayat (7) dan ayat (8) Pasal 43 disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (7a); serta penjelasan ayat (1) Pasal 43 diubah sehingga Pasal 43 berbunyi sebagai berikut:
(1) Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik.
(2) Penyidikan di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan perlindungan terhadap privasi, kerahasiaan, kelancaran layanan publik, dan integritas atau keutuhan data sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Penggeledahan dan/atau penyitaan terhadap Sistem Elektronik yang terkait dengan dugaan tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum acara pidana.
(4) Dalam melakukan penggeledahan dan/atau penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penyidik wajib menjaga terpeliharanya kepentingan pelayanan umum.
(5) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang:
a. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik;
b. memanggil setiap Orang atau pihak lainnya untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi sehubungan dengan adanya dugaan tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik;
c. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik;
d. melakukan pemeriksaan terhadap Orang dan/atau Badan Usaha yang patut diduga melakukan tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik;
e. melakukan pemeriksaan terhadap alat dan/atau sarana yang berkaitan dengan kegiatan Teknologi Informasi yang diduga digunakan untuk melakukan tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik;
f. melakukan penggeledahan terhadap tempat tertentu yang diduga digunakan sebagai tempat untuk melakukan tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik;
g. melakukan penyegelan dan penyitaan terhadap alat dan/atau sarana kegiatan Teknologi Informasi yang diduga digunakan secara menyimpang dari ketentuan peraturan perundang-undangan;
h. membuat suatu data dan/atau Sistem Elektronik yang terkait tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik agar tidak dapat diakses;
i. meminta informasi yang terdapat di dalam Sistem Elektronik atau informasi yang dihasilkan oleh Sistem Elektronik kepada Penyelenggara Sistem Elektronik yang terkait dengan tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik;
j. meminta bantuan ahli yang diperlukan dalam penyidikan terhadap tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik; dan/atau
k. mengadakan penghentian penyidikan tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik sesuai dengan ketentuan hukum acara pidana.
(6) Penangkapan dan penahanan terhadap pelaku tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum acara pidana.
(7) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam melaksanakan tugasnya memberitahukan dimulainya penyidikan kepada Penuntut Umum melalui Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.
(7a) Dalam hal penyidikan sudah selesai, Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyampaikan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum melalui Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.
(8) Dalam rangka mengungkap tindak pidana Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik, penyidik dapat berkerja sama dengan penyidik negara lain untuk berbagi informasi dan alat bukti sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
8. Ketentuan Pasal 45 diubah serta di antara Pasal 45 dan Pasal 46 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 45A dan Pasal 45B sehingga berbunyi sebagai berikut:
(1) Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(2) Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan perjudian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(3) Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
(4) Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/atau pengancaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan delik aduan.
(1) Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(2) Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
pada tanggal 25 November 2016
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 25 November 2016
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 251
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2016
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK
Bahwa kemerdekaan menyatakan pikiran dan kebebasan berpendapat serta hak memperoleh informasi melalui penggunaan dan pemanfaatan Teknologi Informasi dan komunikasi ditujukan untuk memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa serta memberikan rasa aman, keadilan, dan kepastian hukum bagi pengguna dan Penyelenggara Sistem Elektronik.
Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, hak dan kebebasan melalui penggunaan dan pemanfaatan Teknologi Informasi tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) adalah undang-undang pertama di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik sebagai produk legislasi yang sangat dibutuhkan dan telah menjadi pionir yang meletakkan dasar pengaturan di bidang pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik. Akan tetapi, dalam kenyataannya, perjalanan implementasi dari UU ITE mengalami persoalan-persoalan.
Pertama, terhadap Undang-Undang ini telah diajukan beberapa kali uji materiil di Mahkamah Konstitusi dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008, Nomor 2/PUU-VII/2009, Nomor 5/PUU-VIII/2010, dan Nomor 20/PUU-XIV/2016.
Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008 dan Nomor 2/PUU-VII/2009, tindak pidana penghinaan dan pencemaran nama baik dalam bidang Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik bukan semata-mata sebagai tindak pidana umum, melainkan sebagai delik aduan. Penegasan mengenai delik aduan dimaksudkan agar selaras dengan asas kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat.
Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-VIII/2010, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa kegiatan dan kewenangan penyadapan merupakan hal yang sangat sensitif karena di satu sisi merupakan pembatasan hak asasi manusia, tetapi di sisi lain memiliki aspek kepentingan hukum. Oleh karena itu, pengaturan (regulation) mengenai legalitas penyadapan harus dibentuk dan diformulasikan secara tepat sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Di samping itu, Mahkamah berpendapat bahwa karena penyadapan merupakan pelanggaran atas hak asasi manusia sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 28J ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sangat wajar dan sudah sepatutnya jika negara ingin menyimpangi hak privasi warga negara tersebut, negara haruslah menyimpanginya dalam bentuk undang-undang dan bukan dalam bentuk peraturan pemerintah.
Selain itu, berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-XIV/2016, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa untuk mencegah terjadinya perbedaan penafsiran terhadap Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) UU ITE, Mahkamah menegaskan bahwa setiap intersepsi harus dilakukan secara sah, terlebih lagi dalam rangka penegakan hukum. Oleh karena itu, Mahkamah dalam amar putusannya menambahkan kata atau frasa “khususnya” terhadap frasa “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik”. Agar tidak terjadi penafsiran bahwa putusan tersebut akan mempersempit makna atau arti yang terdapat di dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) UU ITE, untuk memberikan kepastian hukum keberadaan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagai alat bukti perlu dipertegas kembali dalam Penjelasan Pasal 5 UU ITE.
Kedua, ketentuan mengenai penggeledahan, penyitaan, penangkapan, dan penahanan yang diatur dalam UU ITE menimbulkan permasalahan bagi penyidik karena tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik begitu cepat dan pelaku dapat dengan mudah mengaburkan perbuatan atau alat bukti kejahatan.
Ketiga, karakteristik virtualitas ruang siber memungkinkan konten ilegal seperti Informasi dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan, perjudian, penghinaan atau pencemaran nama baik, pemerasan dan/atau pengancaman, penyebaran berita bohong dan menyesatkan sehingga mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik, serta perbuatan menyebarkan kebencian atau permusuhan berdasarkan suku, agama, ras, dan golongan, dan pengiriman ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi dapat diakses, didistribusikan, ditransmisikan, disalin, disimpan untuk didiseminasi kembali dari mana saja dan kapan saja. Dalam rangka melindungi kepentingan umum dari segala jenis gangguan sebagai akibat penyalahgunaan Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik, diperlukan penegasan peran Pemerintah dalam mencegah penyebarluasan konten ilegal dengan melakukan tindakan pemutusan akses terhadap Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar hukum agar tidak dapat diakses dari yurisdiksi Indonesia serta dibutuhkan kewenangan bagi penyidik untuk meminta informasi yang terdapat dalam Penyelenggara Sistem Elektronik untuk kepentingan penegakan hukum tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik.
Keempat, penggunaan setiap informasi melalui media atau Sistem Elektronik yang menyangkut data pribadi seseorang harus dilakukan atas persetujuan Orang yang bersangkutan. Untuk itu, dibutuhkan jaminan pemenuhan perlindungan diri pribadi dengan mewajibkan setiap Penyelenggara Sistem Elektronik untuk menghapus Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak relevan yang berada di bawah kendalinya atas permintaan Orang yang bersangkutan berdasarkan penetapan pengadilan.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, perlu membentuk Undang- Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang menegaskan kembali ketentuan keberadaan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dalam Penjelasan Pasal 5, menambah ketentuan kewajiban penghapusan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak relevan dalam Pasal 26, mengubah ketentuan Pasal 31 ayat (4) mengenai pendelegasian penyusunan tata cara intersepsi ke dalam undang-undang, menambah peran Pemerintah dalam melakukan pencegahan penyebarluasan dan penggunaan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang dilarang dalam Pasal 40, mengubah beberapa ketentuan mengenai penyidikan yang terkait dengan dugaan tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik dalam Pasal 43, dan menambah penjelasan Pasal 27 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4) agar lebih harmonis dengan sistem hukum pidana materiil yang diatur di Indonesia.
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4843) diubah sebagai berikut:1. Di antara angka 6 dan angka 7 Pasal 1 disisipkan 1 (satu) angka, yakni angka 6a sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:Pasal 1Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:1. Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.2. Transaksi Elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan Komputer, jaringan Komputer, dan/atau media elektronik lainnya.3. Teknologi Informasi adalah suatu teknik untuk mengumpulkan, menyiapkan, menyimpan, memproses, mengumumkan, menganalisis, dan/atau menyebarkan informasi.4. Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.5. Sistem Elektronik adalah serangkaian perangkat dan prosedur elektronik yang berfungsi mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan, menampilkan, mengumumkan, mengirimkan, dan/atau menyebarkan Informasi Elektronik.6. Penyelenggaraan Sistem Elektronik adalah pemanfaatan Sistem Elektronik oleh penyelenggara negara, Orang, Badan Usaha, dan/atau masyarakat.6a. Penyelenggara Sistem Elektronik adalah setiap Orang, penyelenggara negara, Badan Usaha, dan masyarakat yang menyediakan, mengelola, dan/atau mengoperasikan Sistem Elektronik, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama kepada pengguna Sistem Elektronik untuk keperluan dirinya dan/atau keperluan pihak lain.7. Jaringan Sistem Elektronik adalah terhubungnya dua Sistem Elektronik atau lebih, yang bersifat tertutup ataupun terbuka.8. Agen Elektronik adalah perangkat dari suatu Sistem Elektronik yang dibuat untuk melakukan suatu tindakan terhadap suatu Informasi Elektronik tertentu secara otomatis yang diselenggarakan oleh Orang.9. Sertifikat Elektronik adalah sertifikat yang bersifat elektronik yang memuat Tanda Tangan Elektronik dan identitas yang menunjukkan status subjek hukum para pihak dalam Transaksi Elektronik yang dikeluarkan oleh Penyelenggara Sertifikasi Elektronik.10. Penyelenggara Sertifikasi Elektronik adalah badan hukum yang berfungsi sebagai pihak yang layak dipercaya, yang memberikan dan mengaudit Sertifikat Elektronik.11. Lembaga Sertifikasi Keandalan adalah lembaga independen yang dibentuk oleh profesional yang diakui, disahkan, dan diawasi oleh Pemerintah dengan kewenangan mengaudit dan mengeluarkan sertifikat keandalan dalam Transaksi Elektronik.12. Tanda Tangan Elektronik adalah tanda tangan yang terdiri atas Informasi Elektronik yang dilekatkan, terasosiasi atau terkait dengan Informasi Elektronik lainnya yang digunakan sebagai alat verifikasi dan autentikasi.13. Penanda Tangan adalah subjek hukum yang terasosiasikan atau terkait dengan Tanda Tangan Elektronik.14. Komputer adalah alat untuk memproses data elektronik, magnetik, optik, atau sistem yang melaksanakan fungsi logika, aritmatika, dan penyimpanan.15. Akses adalah kegiatan melakukan interaksi dengan Sistem Elektronik yang berdiri sendiri atau dalam jaringan.16. Kode Akses adalah angka, huruf, simbol, karakter lainnya atau kombinasi di antaranya, yang merupakan kunci untuk dapat mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik lainnya.17. Kontrak Elektronik adalah perjanjian para pihak yang dibuat melalui Sistem Elektronik.18. Pengirim adalah subjek hukum yang mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik.19. Penerima adalah subjek hukum yang menerima Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dari Pengirim.20. Nama Domain adalah alamat internet penyelenggara negara, Orang, Badan Usaha, dan/atau masyarakat, yang dapat digunakan dalam berkomunikasi melalui internet, yang berupa kode atau susunan karakter yang bersifat unik untuk menunjukkan lokasi tertentu dalam internet.21. Orang adalah orang perseorangan, baik warga negara Indonesia, warga negara asing, maupun badan hukum.22. Badan Usaha adalah perusahaan perseorangan atau perusahaan persekutuan, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum.23. Pemerintah adalah Menteri atau pejabat lainnya yang ditunjuk oleh Presiden.2. Ketentuan Pasal 5 tetap dengan perubahan penjelasan ayat (1) dan ayat (2) sehingga penjelasan Pasal 5 menjadi sebagaimana ditetapkan dalam penjelasan pasal demi pasal Undang-Undang ini.3. Ketentuan Pasal 26 ditambah 3 (tiga) ayat, yakni ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) sehingga Pasal 26 berbunyi sebagai berikut:Pasal 26(1) Kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang- undangan, penggunaan setiap informasi melalui media elektronik yang menyangkut data pribadi seseorang harus dilakukan atas persetujuan Orang yang bersangkutan.(2) Setiap Orang yang dilanggar haknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengajukan gugatan atas kerugian yang ditimbulkan berdasarkan Undang-Undang ini.(3) Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajib menghapus Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak relevan yang berada di bawah kendalinya atas permintaan Orang yang bersangkutan berdasarkan penetapan pengadilan.(4) Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajib menyediakan mekanisme penghapusan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang sudah tidak relevan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.(5) Ketentuan mengenai tata cara penghapusan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) diatur dalam peraturan pemerintah.4. Ketentuan Pasal 27 tetap dengan perubahan penjelasan ayat (1), ayat (3), dan ayat (4) sehingga penjelasan Pasal 27 menjadi sebagaimana ditetapkan dalam penjelasan pasal demi pasal Undang-Undang ini.5. Ketentuan ayat (3) dan ayat (4) Pasal 31 diubah sehingga Pasal 31 berbunyi sebagai berikut:Pasal 31(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau penyadapan atas Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain.(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atas transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik dari, ke, dan di dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain, baik yang tidak menyebabkan perubahan apa pun maupun yang menyebabkan adanya perubahan, penghilangan, dan/atau penghentian Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang sedang ditransmisikan.(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku terhadap intersepsi atau penyadapan yang dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, atau institusi lainnya yang kewenangannya ditetapkan berdasarkan undang- undang.(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan undang-undang.6. Di antara ayat (2) dan ayat (3) Pasal 40 disisipkan 2 (dua) ayat, yakni ayat (2a) dan ayat (2b); ketentuan ayat (6) Pasal 40 diubah; serta penjelasan ayat (1) Pasal 40 diubah sehingga Pasal 40 berbunyi sebagai berikut:Pasal 40(1) Pemerintah memfasilitasi pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.(2) Pemerintah melindungi kepentingan umum dari segala jenis gangguan sebagai akibat penyalahgunaan Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik yang mengganggu ketertiban umum, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.(2a) Pemerintah wajib melakukan pencegahan penyebarluasan dan penggunaan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang dilarang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.(2b) Dalam melakukan pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2a), Pemerintah berwenang melakukan pemutusan akses dan/atau memerintahkan kepada Penyelenggara Sistem Elektronik untuk melakukan pemutusan akses terhadap Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar hukum.(3) Pemerintah menetapkan instansi atau institusi yang memiliki data elektronik strategis yang wajib dilindungi.(4) Instansi atau institusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus membuat Dokumen Elektronik dan rekam cadang elektroniknya serta menghubungkannya ke pusat data tertentu untuk kepentingan pengamanan data.(5) Instansi atau institusi lain selain diatur pada ayat (3) membuat Dokumen Elektronik dan rekam cadang elektroniknya sesuai dengan keperluan perlindungan data yang dimilikinya.(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai peran Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (2a), ayat (2b), dan ayat (3) diatur dalam peraturan pemerintah.7. Ketentuan ayat (2), ayat (3), ayat (5), ayat (6), ayat (7), dan ayat (8) Pasal 43 diubah; di antara ayat (7) dan ayat (8) Pasal 43 disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (7a); serta penjelasan ayat (1) Pasal 43 diubah sehingga Pasal 43 berbunyi sebagai berikut:Pasal 43(1) Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana di
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
pada tanggal 25 November 2016
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 25 November 2016
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 251
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2016
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK
Bahwa kemerdekaan menyatakan pikiran dan kebebasan berpendapat serta hak memperoleh informasi melalui penggunaan dan pemanfaatan Teknologi Informasi dan komunikasi ditujukan untuk memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa serta memberikan rasa aman, keadilan, dan kepastian hukum bagi pengguna dan Penyelenggara Sistem Elektronik.
Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, hak dan kebebasan melalui penggunaan dan pemanfaatan Teknologi Informasi tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) adalah undang-undang pertama di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik sebagai produk legislasi yang sangat dibutuhkan dan telah menjadi pionir yang meletakkan dasar pengaturan di bidang pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik. Akan tetapi, dalam kenyataannya, perjalanan implementasi dari UU ITE mengalami persoalan-persoalan.
Pertama, terhadap Undang-Undang ini telah diajukan beberapa kali uji materiil di Mahkamah Konstitusi dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008, Nomor 2/PUU-VII/2009, Nomor 5/PUU-VIII/2010, dan Nomor 20/PUU-XIV/2016.
Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008 dan Nomor 2/PUU-VII/2009, tindak pidana penghinaan dan pencemaran nama baik dalam bidang Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik bukan semata-mata sebagai tindak pidana umum, melainkan sebagai delik aduan. Penegasan mengenai delik aduan dimaksudkan agar selaras dengan asas kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat.
Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-VIII/2010, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa kegiatan dan kewenangan penyadapan merupakan hal yang sangat sensitif karena di satu sisi merupakan pembatasan hak asasi manusia, tetapi di sisi lain memiliki aspek kepentingan hukum. Oleh karena itu, pengaturan (regulation) mengenai legalitas penyadapan harus dibentuk dan diformulasikan secara tepat sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Di samping itu, Mahkamah berpendapat bahwa karena penyadapan merupakan pelanggaran atas hak asasi manusia sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 28J ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sangat wajar dan sudah sepatutnya jika negara ingin menyimpangi hak privasi warga negara tersebut, negara haruslah menyimpanginya dalam bentuk undang-undang dan bukan dalam bentuk peraturan pemerintah.
Selain itu, berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-XIV/2016, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa untuk mencegah terjadinya perbedaan penafsiran terhadap Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) UU ITE, Mahkamah menegaskan bahwa setiap intersepsi harus dilakukan secara sah, terlebih lagi dalam rangka penegakan hukum. Oleh karena itu, Mahkamah dalam amar putusannya menambahkan kata atau frasa “khususnya” terhadap frasa “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik”. Agar tidak terjadi penafsiran bahwa putusan tersebut akan mempersempit makna atau arti yang terdapat di dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) UU ITE, untuk memberikan kepastian hukum keberadaan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagai alat bukti perlu dipertegas kembali dalam Penjelasan Pasal 5 UU ITE.
Kedua, ketentuan mengenai penggeledahan, penyitaan, penangkapan, dan penahanan yang diatur dalam UU ITE menimbulkan permasalahan bagi penyidik karena tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik begitu cepat dan pelaku dapat dengan mudah mengaburkan perbuatan atau alat bukti kejahatan.
Ketiga, karakteristik virtualitas ruang siber memungkinkan konten ilegal seperti Informasi dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan, perjudian, penghinaan atau pencemaran nama baik, pemerasan dan/atau pengancaman, penyebaran berita bohong dan menyesatkan sehingga mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik, serta perbuatan menyebarkan kebencian atau permusuhan berdasarkan suku, agama, ras, dan golongan, dan pengiriman ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi dapat diakses, didistribusikan, ditransmisikan, disalin, disimpan untuk didiseminasi kembali dari mana saja dan kapan saja. Dalam rangka melindungi kepentingan umum dari segala jenis gangguan sebagai akibat penyalahgunaan Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik, diperlukan penegasan peran Pemerintah dalam mencegah penyebarluasan konten ilegal dengan melakukan tindakan pemutusan akses terhadap Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar hukum agar tidak dapat diakses dari yurisdiksi Indonesia serta dibutuhkan kewenangan bagi penyidik untuk meminta informasi yang terdapat dalam Penyelenggara Sistem Elektronik untuk kepentingan penegakan hukum tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik.
Keempat, penggunaan setiap informasi melalui media atau Sistem Elektronik yang menyangkut data pribadi seseorang harus dilakukan atas persetujuan Orang yang bersangkutan. Untuk itu, dibutuhkan jaminan pemenuhan perlindungan diri pribadi dengan mewajibkan setiap Penyelenggara Sistem Elektronik untuk menghapus Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak relevan yang berada di bawah kendalinya atas permintaan Orang yang bersangkutan berdasarkan penetapan pengadilan.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, perlu membentuk Undang- Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang menegaskan kembali ketentuan keberadaan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dalam Penjelasan Pasal 5, menambah ketentuan kewajiban penghapusan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak relevan dalam Pasal 26, mengubah ketentuan Pasal 31 ayat (4) mengenai pendelegasian penyusunan tata cara intersepsi ke dalam undang-undang, menambah peran Pemerintah dalam melakukan pencegahan penyebarluasan dan penggunaan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang dilarang dalam Pasal 40, mengubah beberapa ketentuan mengenai penyidikan yang terkait dengan dugaan tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik dalam Pasal 43, dan menambah penjelasan Pasal 27 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4) agar lebih harmonis dengan sistem hukum pidana materiil yang diatur di Indonesia.
IUndang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.Disahkan di Jakartapada tanggal 25 November 2016PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,ttdJOKO WIDODODiundangkan di Jakartapada tanggal 25 November 2016MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,ttdYASONNA H. LAOLYLEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 251endbatangtubuhstartpenjelasanPENJELASANUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2016TENTANGPERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIKI. UMUMBahwa kemerdekaan menyatakan pikiran dan kebebasan berpendapat serta hak memperoleh informasi melalui penggunaan dan pemanfaatan Teknologi Informasi dan komunikasi ditujukan untuk memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa serta memberikan rasa aman, keadilan, dan kepastian hukum bagi pengguna dan Penyelenggara Sistem Elektronik.Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, hak dan kebebasan melalui penggunaan dan pemanfaatan Teknologi Informasi tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) adalah undang-undang pertama di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik sebagai produk legislasi yang sangat dibutuhkan dan telah menjadi pionir yang meletakkan dasar pengaturan di bidang pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik. Akan tetapi, dalam kenyataannya, perjalanan implementasi dari UU ITE mengalami persoalan-persoalan.Pertama, terhadap Undang-Undang ini telah diajukan beberapa kali uji materiil di Mahkamah Konstitusi dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008, Nomor 2/PUU-VII/2009, Nomor 5/PUU-VIII/2010, dan Nomor 20/PUU-XIV/2016.Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008 dan Nomor 2/PUU-VII/2009, tindak pidana penghinaan dan pencemaran nama baik dalam bidang Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik bukan semata-mata sebagai tindak pidana umum, melainkan sebagai delik aduan. Penegasan mengenai delik aduan dimaksudkan agar selaras dengan asas kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat.Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-VIII/2010, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa kegiatan dan kewenangan penyadapan merupakan hal yang sangat sensitif karena di satu sisi merupakan pembatasan hak asasi manusia, tetapi di sisi lain memiliki aspek kepentingan hukum. Oleh karena itu, pengaturan (regulation) mengenai legalitas penyadapan harus dibentuk dan diformulasikan secara tepat sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Di samping itu, Mahkamah berpendapat bahwa karena penyadapan merupakan pelanggaran atas hak asasi manusia sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 28J ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sangat wajar dan sudah sepatutnya jika negara ingin menyimpangi hak privasi warga negara tersebut, negara haruslah menyimpanginya dalam bentuk undang-undang dan bukan dalam bentuk peraturan pemerintah.Selain itu, berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-XIV/2016, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa untuk mencegah terjadinya perbedaan penafsiran terhadap Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) UU ITE, Mahkamah menegaskan bahwa setiap intersepsi harus dilakukan secara sah, terlebih lagi dalam rangka penegakan hukum. Oleh karena itu, Mahkamah dalam amar putusannya menambahkan kata atau frasa “khususnya” terhadap frasa “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik”. Agar tidak terjadi penafsiran bahwa putusan tersebut akan mempersempit makna atau arti yang terdapat di dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) UU ITE, untuk memberikan kepastian hukum keberadaan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagai alat bukti perlu dipertegas kembali dalam Penjelasan Pasal 5 UU ITE.Kedua, ketentuan mengenai penggeledahan, penyitaan, penangkapan, dan penahanan yang diatur dalam UU ITE menimbulkan permasalahan bagi penyidik karena tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik begitu cepat dan pelaku dapat dengan mudah mengaburkan perbuatan atau alat bukti kejahatan.Ketiga, karakteristik virtualitas ruang siber memungkinkan konten ilegal seperti Informasi dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan, perjudian, penghinaan atau pencemaran nama baik, pemerasan dan/atau pengancaman, penyebaran berita bohong dan menyesatkan sehingga mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik, serta perbuatan menyebarkan kebencian atau permusuhan berdasarkan suku, agama, ras, dan golongan, dan pengiriman ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi dapat diakses, didistribusikan, ditransmisikan, disalin, disimpan untuk didiseminasi kembali dari mana saja dan kapan saja. Dalam rangka melindungi kepentingan umum dari segala jenis gangguan sebagai akibat penyalahgunaan Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik, diperlukan penegasan peran Pemerintah dalam mencegah penyebarluasan konten ilegal dengan melakukan tindakan pemutusan akses terhadap Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar hukum agar tidak dapat diakses dari yurisdiksi Indonesia serta dibutuhkan kewenangan bagi penyidik untuk meminta informasi yang terdapat dalam Penyelenggara Sistem Elektronik untuk kepentingan penegakan hukum tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik.Keempat, penggunaan setiap informasi melalui media atau Sistem Elektronik yang menyangkut data pribadi seseorang harus dilakukan atas persetujuan Orang yang bersangkutan. Untuk itu, dibutuhkan jaminan pemenuhan perlindungan diri pribadi dengan mewajibkan setiap Penyelenggara Sistem Elektronik untuk menghapus Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak relevan yang berada di bawah kendalinya atas permintaan Orang yang bersangkutan berdasarkan penetapan pengadilan.Berdasarkan pertimbangan tersebut, perlu membentuk Undang- Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang menegaskan kembali ketentuan keberadaan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dalam Penjelasan Pasal 5, menambah ketentuan kewajiban penghapusan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak relevan dalam Pasal 26, mengubah ketentuan Pasal 31 ayat (4) mengenai pendelegasian penyusunan tata cara intersepsi ke dalam undang-undang, menambah peran Pemerintah dalam melakukan pencegahan penyebarluasan dan penggunaan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang dilarang dalam Pasal 40, mengubah beberapa ketentuan mengenai penyidikan yang terkait dengan dugaan tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik dalam Pasal 43, dan menambah penjelasan Pasal 27 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4) agar lebih harmonis dengan sistem hukum pidana materiil yang diatur di Indonesia.II. PASAL DEMI PASALPasal I
Ayat (2)Cukup jelas.Ayat (3)Cukup jelas.Ayat (4)Cukup jelas.Ayat (5)Cukup jelas.
Ayat (6)Cukup jelas.Ayat (7)Cukup jelas.Ayat (7a)Cukup jelas.Ayat (8)Cukup jelas.
pada tanggal 25 November 2016
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 25 November 2016
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 251
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2016
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK
Bahwa kemerdekaan menyatakan pikiran dan kebebasan berpendapat serta hak memperoleh informasi melalui penggunaan dan pemanfaatan Teknologi Informasi dan komunikasi ditujukan untuk memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa serta memberikan rasa aman, keadilan, dan kepastian hukum bagi pengguna dan Penyelenggara Sistem Elektronik.
Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, hak dan kebebasan melalui penggunaan dan pemanfaatan Teknologi Informasi tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) adalah undang-undang pertama di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik sebagai produk legislasi yang sangat dibutuhkan dan telah menjadi pionir yang meletakkan dasar pengaturan di bidang pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik. Akan tetapi, dalam kenyataannya, perjalanan implementasi dari UU ITE mengalami persoalan-persoalan.
Pertama, terhadap Undang-Undang ini telah diajukan beberapa kali uji materiil di Mahkamah Konstitusi dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008, Nomor 2/PUU-VII/2009, Nomor 5/PUU-VIII/2010, dan Nomor 20/PUU-XIV/2016.
Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008 dan Nomor 2/PUU-VII/2009, tindak pidana penghinaan dan pencemaran nama baik dalam bidang Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik bukan semata-mata sebagai tindak pidana umum, melainkan sebagai delik aduan. Penegasan mengenai delik aduan dimaksudkan agar selaras dengan asas kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat.
Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-VIII/2010, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa kegiatan dan kewenangan penyadapan merupakan hal yang sangat sensitif karena di satu sisi merupakan pembatasan hak asasi manusia, tetapi di sisi lain memiliki aspek kepentingan hukum. Oleh karena itu, pengaturan (regulation) mengenai legalitas penyadapan harus dibentuk dan diformulasikan secara tepat sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Di samping itu, Mahkamah berpendapat bahwa karena penyadapan merupakan pelanggaran atas hak asasi manusia sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 28J ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sangat wajar dan sudah sepatutnya jika negara ingin menyimpangi hak privasi warga negara tersebut, negara haruslah menyimpanginya dalam bentuk undang-undang dan bukan dalam bentuk peraturan pemerintah.
Selain itu, berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-XIV/2016, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa untuk mencegah terjadinya perbedaan penafsiran terhadap Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) UU ITE, Mahkamah menegaskan bahwa setiap intersepsi harus dilakukan secara sah, terlebih lagi dalam rangka penegakan hukum. Oleh karena itu, Mahkamah dalam amar putusannya menambahkan kata atau frasa “khususnya” terhadap frasa “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik”. Agar tidak terjadi penafsiran bahwa putusan tersebut akan mempersempit makna atau arti yang terdapat di dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) UU ITE, untuk memberikan kepastian hukum keberadaan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagai alat bukti perlu dipertegas kembali dalam Penjelasan Pasal 5 UU ITE.
Kedua, ketentuan mengenai penggeledahan, penyitaan, penangkapan, dan penahanan yang diatur dalam UU ITE menimbulkan permasalahan bagi penyidik karena tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik begitu cepat dan pelaku dapat dengan mudah mengaburkan perbuatan atau alat bukti kejahatan.
Ketiga, karakteristik virtualitas ruang siber memungkinkan konten ilegal seperti Informasi dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan, perjudian, penghinaan atau pencemaran nama baik, pemerasan dan/atau pengancaman, penyebaran berita bohong dan menyesatkan sehingga mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik, serta perbuatan menyebarkan kebencian atau permusuhan berdasarkan suku, agama, ras, dan golongan, dan pengiriman ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi dapat diakses, didistribusikan, ditransmisikan, disalin, disimpan untuk didiseminasi kembali dari mana saja dan kapan saja. Dalam rangka melindungi kepentingan umum dari segala jenis gangguan sebagai akibat penyalahgunaan Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik, diperlukan penegasan peran Pemerintah dalam mencegah penyebarluasan konten ilegal dengan melakukan tindakan pemutusan akses terhadap Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar hukum agar tidak dapat diakses dari yurisdiksi Indonesia serta dibutuhkan kewenangan bagi penyidik untuk meminta informasi yang terdapat dalam Penyelenggara Sistem Elektronik untuk kepentingan penegakan hukum tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik.
Keempat, penggunaan setiap informasi melalui media atau Sistem Elektronik yang menyangkut data pribadi seseorang harus dilakukan atas persetujuan Orang yang bersangkutan. Untuk itu, dibutuhkan jaminan pemenuhan perlindungan diri pribadi dengan mewajibkan setiap Penyelenggara Sistem Elektronik untuk menghapus Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak relevan yang berada di bawah kendalinya atas permintaan Orang yang bersangkutan berdasarkan penetapan pengadilan.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, perlu membentuk Undang- Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang menegaskan kembali ketentuan keberadaan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dalam Penjelasan Pasal 5, menambah ketentuan kewajiban penghapusan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak relevan dalam Pasal 26, mengubah ketentuan Pasal 31 ayat (4) mengenai pendelegasian penyusunan tata cara intersepsi ke dalam undang-undang, menambah peran Pemerintah dalam melakukan pencegahan penyebarluasan dan penggunaan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang dilarang dalam Pasal 40, mengubah beberapa ketentuan mengenai penyidikan yang terkait dengan dugaan tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik dalam Pasal 43, dan menambah penjelasan Pasal 27 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4) agar lebih harmonis dengan sistem hukum pidana materiil yang diatur di Indonesia.
Ayat (2)Cukup jelas.Ayat (3)Cukup jelas.Ayat (4)Cukup jelas.Ayat (5)Cukup jelas.
Ayat (6)Cukup jelas.Ayat (7)Cukup jelas.Ayat (7a)Cukup jelas.Ayat (8)Cukup jelas.
Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Domain publikDomain publikfalsefalse
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
BAB I DASAR PERKAWINAN
BAB II SYARAT-SYARAT PERKAWINAN
BAB III PENCEGAHAN PERKAWINAN
BAB IV BATALNYA PERKAWINAN
BAB V PERJANJIAN PERKAWINAN
BAB VI HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTERI
BAB VII HARTA BENDA DALAM PERKAWINAN
BAB VIII PUTUSNYA PERKAWINAN SERTA AKIBATNYA
BAB IX KEDUDUKAN ANAK
BAB X HAK DAN KEWAJIBAN ANTARA ORANG TUA DAN ANAK
BAB XII KETENTUAN-KETENTUAN LAIN
BAB XIII KETENTUAN PERALIHAN
BAB XIV KETENTUAN PENUTUP
Disahkan di Jakarta Pada tanggal 2 Januari 1974 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. SOEHARTO JENDERAL TNI.
Pada tanggal 2 Januari 1974 MENTERI/SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA, ttd. SOEDHARMONO, SH. MAYOR JENDERAL TNI
%PDF-1.4 %âãÏÓ 616 0 obj<> endobj xref 616 32 0000000016 00000 n 0000001500 00000 n 0000000954 00000 n 0000001793 00000 n 0000001934 00000 n 0000002329 00000 n 0000002783 00000 n 0000003257 00000 n 0000003304 00000 n 0000003577 00000 n 0000003843 00000 n 0000003920 00000 n 0000004555 00000 n 0000005075 00000 n 0000005610 00000 n 0000006112 00000 n 0000006600 00000 n 0000006991 00000 n 0000007274 00000 n 0000007318 00000 n 0000007829 00000 n 0000008059 00000 n 0000008299 00000 n 0000008812 00000 n 0000009185 00000 n 0000024021 00000 n 0000046108 00000 n 0000071347 00000 n 0000074017 00000 n 0000074053 00000 n 0000074650 00000 n 0000001308 00000 n trailer <]>> startxref 0 %%EOF 618 0 obj<>stream xÚb```b``�ÏÀÊÀ bÄ È€ ‚,@QŽp¡Ž[ wËj>$H0ðïê5h�qähpiÈtüÂçòï<€k`l+7d~�=#]cÎMþµoç,*N°Û¾Ñ%qîÙ)¿n=“t+©q“¼R².P"¤dÛNÜJ°˜rJ¬DfÐöÐдŽ†´4%ˆB1�J bãA(B¡‚¦2PÌÀ ÂÀÏp‰u¯€tc‚µC1ƒ&Ë:ö ü3d,"T7p0ocæ`K�½ ¥W¢-ø¨Xd 0F:&-€¤ÌÀ´ÌÀÈc°bY¦…ó�4ƒ”#D @€ ¹Œ? endstream endobj 647 0 obj<>/W[1 1 1]/Type/XRef/Index[42 574]>>stream xÚbb’e`b``Ń3Î ƒÑøÅ£ñ1£x4>hƒ `Ï ê endstream endobj 617 0 obj<>/OCGs[619 0 R]>>/PieceInfo<>>>/LastModified(D:20040415140539)/MarkInfo<>>> endobj 619 0 obj<>/PageElement<>>>>> endobj 620 0 obj<>/Font<>/XObject<>/ProcSet[/PDF/Text/ImageC/ImageI]/ExtGState<>/Properties<>>>/StructParents 0>> endobj 621 0 obj<> endobj 622 0 obj<> endobj 623 0 obj[/Indexed 644 0 R 255 645 0 R] endobj 624 0 obj<> endobj 625 0 obj<> endobj 626 0 obj<> endobj 627 0 obj<>stream H‰Œ”ËnAE÷óµLnªú]’e ‚‘ÂÐ,²$˜ØÄfp ÈR¾>5ãGä1eÃ4LÝ:]·/Ý)«‡Mµžß-×p~Þ_–}@¸¸èõ/¡øYt†s„ÛCaQy-/¬UlA‡ L`´SèÑÀj[tÊ-BW\ƒ±È;Ó·–ôÚRºxëÜKE'%”Šô]Þ¦•0Ò“|@: aýü]ÿ´2ŠƒµÍ.êuCñ/?m‹Oð9ý(é^¿âßÓ"êY¯ˆj0‘bvôLÑ@1($fϬ‚}-ª›eu{vl0[?¿=lnvÕú°YBn'æäNZPmHiæÁR^¦³ u²Ûîöµbyw¬€Ä�Æþ&h…ÜÌf�rMl0i]ýªÇÊ5w§Ý<ážö¤,±ON9DûìÞt½¿_>mªe•Cøb%™�ñøÂ�/Z2 .²2uøgB>î5/1øH¡ÀÊIæ œ»Ä7×ÀúƒÉ°;©‰'DZ[emˆ¦%‚YN`œòDõHïÝ\½Õ*"Ëàïë¯Fã¬$ul’ å¬å\c›±È”Dš¼mÕ�r;2�ÀA·øš•È•"›ö¹ƒ06*q•\«~˜«w®¾n¼oܸ;êÂ`ž‘YŒÊ[‹m«š1$rÔ¾èNõhÜ`Ãmt&ÕñdªÏšX‹?BjÖ6l�¬bD-£š Xîzþ›ÎóRÒ ³ÁtÑûR^A9é×{€? ²ŒR~ endstream endobj 628 0 obj<>stream H‰„”ÏnAÆïy áЉ=öüCU%ÚæÐC ûÓ@Ú…f…Hª¾>ÞDB`bP.›Íïó7þÆa@ÊH€ú!ý�%¬L —Ш‚a·xóñíðuAgøijTËX}º{?k–Ã@ ﶄa£ºáÎÕ©)Hk˜:0×X ‹ÕúË{¸¼\®oîn¡ÁÕÕõ¾»~³¸ÐZy6:ãQ¢þŠ-B¢¨4®'σð&D³Ëñ9G§©_†RsnXŽ†ë/N˜3U¸‰á§q÷à(ˆ(äÒZ5’>=Â;·/òûÂS_ú˜¨ü·Œ!·ZÒÑó¡?½vØ»'å@±‘•—Q ,ÕânùÈ!aMÍð/ÏbÍœßGøì)I`]Žl4ÓcŸ`Û=U£ ±R5ªç}ßö'¸ï“#ŒÂš@ÁÆå«F�3Ù–öã³/±jºn68/„xZT²Áý8tðN¦¡AdÁèñ:Õ¢+fðC¿ØŒjó2_•Òÿ“‡Ÿ TÂHµ endstream endobj 629 0 obj<>stream H‰ŒTËnÜ0¼ïWð˜ W)‰*‚ò8ô°@î(Mën7ë›5ùûÊz°"�/¶1#ÉÑœ ðkÜ�{øÔý^‘CGѸúL$)qN@¢Ã˜5èö«³¡
Website Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan yang menampilkan Database Peraturan Perundang-undangan yang memuat informasi mengenai jenis, status, hubungan antar peraturan, dan statistik peraturan perundang-undangan
Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Domain publikDomain publikfalsefalse
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1974 TENTANG PENERTIBAN PERJUDIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Dengan Persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN:
banyaknya sembilan puluh ribu rupiah menjadi hukuman penjara selama-lamanya sepuluh tahun atau denda sebanyak banyaknya dua puluh lima juta rupiah.
Ditetapkan di Jakartapada tanggal 6 Nopember 1974
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1974 NOMOR 54
Hak Cipta © 2023 Divisi Humas Polri. All Right Reserved.
UNDANG-UNDANGNOMOR 7 TAHUN 2011TENTANGMATA UANG
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai suatu negara yang merdeka dan berdaulat memiliki Mata Uang sebagai salah satu simbol kedaulatan negara yang harus dihormati dan dibanggakan oleh seluruh warga Negara Indonesia;
bahwa Mata Uang diperlukan sebagai alat pembayaran yang sah dalam kegiatan perekonomian nasional dan internasional guna mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia;
bahwa selama ini pengaturan tentang macam dan harga Mata Uang sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 23B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 belum diatur dengan undang- undang tersendiri;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang tentang Mata Uang;
Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 23B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962);
Dengan Persetujuan Bersama:
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN:
UNDANG-UNDANG TENTANG MATA UANG
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
Mata Uang adalah uang yang dikeluarkan oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Rupiah.
Uang adalah alat pembayaran yang sah.
Bank Indonesia adalah bank sentral Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.
Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah seluruh wilayah teritorial Indonesia, termasuk kapal dan pesawat terbang yang berbendera Republik Indonesia, Kedutaan Republik Indonesia, dan kantor perwakilan Republik Indonesia lainnya di luar negeri.
Ciri Rupiah adalah tanda tertentu pada setiap Rupiah yang ditetapkan dengan tujuan untuk menunjukkan identitas, membedakan harga atau nilai nominal, dan mengamankan Rupiah tersebut dari upaya pemalsuan.
Kertas Uang adalah bahan baku yang digunakan untuk membuat Rupiah kertas yang mengandung unsur pengaman dan yang tahan lama.
Logam Uang adalah bahan baku yang digunakan untuk membuat Rupiah logam yang mengandung unsur pengaman dan yang tahan lama.
Rupiah Tiruan adalah suatu benda yang bahan, ukuran, warna, gambar, dan/atau desainnya menyerupai Rupiah yang dibuat, dibentuk, dicetak, digandakan, atau diedarkan, tidak digunakan sebagai alat pembayaran dengan merendahkan kehormatan Rupiah sebagai simbol negara.
Rupiah Palsu adalah suatu benda yang bahan, ukuran, warna, gambar, dan/atau desainnya menyerupai Rupiah yang dibuat, dibentuk, dicetak, digandakan, diedarkan, atau digunakan sebagai alat pembayaran secara melawan hukum.
Pengelolaan Rupiah adalah suatu kegiatan yang mencakup Perencanaan, Pencetakan, Pengeluaran, Pengedaran, Pencabutan dan Penarikan, serta Pemusnahan Rupiah yang dilakukan secara efektif, efisien, transparan, dan akuntabel.
Perencanaan adalah suatu rangkaian kegiatan menetapkan besarnya jumlah dan jenis pecahan berdasarkan perkiraan kebutuhan Rupiah dalam periode tertentu.
Pencetakan adalah suatu rangkaian kegiatan mencetak Rupiah.
Pengeluaran adalah suatu rangkaian kegiatan menerbitkan Rupiah sebagai alat pembayaran yang sah di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pengedaran adalah suatu rangkaian kegiatan mengedarkan atau mendistribusikan Rupiah di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pencabutan dan Penarikan adalah rangkaian kegiatan yang menetapkan rupiah tidak berlaku lagi sebagai alat pembayaran yang sah di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pemusnahan adalah suatu rangkaian kegiatan meracik, melebur, atau cara lain memusnahkan Rupiah sehingga tidak menyerupai Rupiah.
Penyidik adalah penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana.
Pemerintah adalah Pemerintah Republik Indonesia.
Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi.
MACAM DAN HARGA RUPIAH
Mata Uang Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Rupiah.
Macam Rupiah terdiri atas Rupiah kertas dan Rupiah logam.
Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disimbolkan dengan Rp.
Harga Rupiah merupakan nilai nominal yang tercantum pada setiap pecahan Rupiah.
Satu Rupiah adalah 100 (seratus) sen.
Pecahan Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Bank Indonesia yang berkoordinasi dengan Pemerintah.
Dalam menetapkan pecahan Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Bank Indonesia berkoordinasi dengan Pemerintah memperhatikan kondisi moneter, kepraktisan sebagai alat pembayaran, dan/atau kebutuhan masyarakat.
Perubahan harga Rupiah diatur dengan Undang-Undang.
CIRI DESAIN DAN BAHAN BAKU RUPIAH
Ciri Rupiah terdiri atas ciri umum dan ciri khusus.
Ciri umum Rupiah kertas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) paling sedikit memuat:
gambar lambang negara "Garuda Pancasila";
frasa "Negara Kesatuan Republik Indonesia";
sebutan pecahan dalam angka dan huruf sebagai nilai nominalnya;
tanda tangan pihak Pemerintah dan Bank Indonesia;
teks " DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA MENGELUARKAN RUPIAH SEBAGAI ALAT PEMBAYARAN YANG SAH DENGAN NILAI ... "; dan
tahun emisi dan tahun cetak.
Ciri umum Rupiah logam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) paling sedikit memuat:
gambar lambang negara "Garuda Pancasila";
frasa "Republik Indonesia";
sebutan pecahan dalam angka sebagai nilai nominalnya; dan
Setiap pecahan Rupiah selain memiliki ciri umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) juga memiliki ciri khusus sebagai pengaman yang terdapat pada desain, bahan, dan teknik cetak.
Ciri khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bersifat terbuka, semi tertutup, dan tertutup.
Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 tidak memuat gambar orang yang masih hidup.
Gambar pahlawan nasional dan/atau Presiden dicantumkan sebagai gambar utama pada bagian depan Rupiah.
Penggunaan gambar pahlawan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh Pemerintah dari instansi resmi yang bertanggung jawab dan berwenang menatausahakan gambar dimaksud dan memperoleh persetujuan dari ahli waris.
Gambar pahlawan nasional dan/atau Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
Desain Rupiah meliputi ciri, tanda tertentu, ukuran, dan unsur pengaman.
Bahan baku Rupiah terdiri atas Kertas Uang atau Logam Uang.
Bahan baku Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengutamakan produk dalam negeri dengan menjaga mutu, keamanan, dan harga yang bersaing serta ditetapkan oleh Bank Indonesia yang berkoordinasi dengan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai ciri, desain , dan kriteria bahan baku Rupiah diatur dengan Peraturan Bank Indonesia.
Pengelolaan Rupiah meliputi tahapan:
Pencabutan dan Penarikan; dan
Perencanaan, Pencetakan, dan Pemusnahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Bank Indonesia yang berkoordinasi dengan Pemerintah.
Bank Indonesia merupakan satu-satunya lembaga yang berwenang melakukan Pengeluaran, Pengedaran, dan/ atau Pencabutan dan Penarikan Rupiah.
Dalam melaksanakan Pengedaran Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Bank Indonesia menentukan nomor seri uang kertas.
Seluruh tahapan dalam Pengelolaan Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) mengikuti prosedur pengamanan.
Perencanaan dan penentuan jumlah Rupiah yang dicetak dilakukan oleh Bank Indonesia yang berkoordinasi dengan Pemerintah.
Penyediaan jumlah Rupiah yang beredar dilakukan oleh Bank Indonesia.
Pencetakan Rupiah dilakukan oleh Bank Indonesia.
Pencetakan Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan di dalam negeri dengan menunjuk badan usaha milik negara sebagai pelaksana Pencetakan Rupiah.
Dalam hal badan usaha milik negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menyatakan tidak sanggup melaksanakan Pencetakan Rupiah, Pencetakan Rupiah dilaksanakan oleh badan usaha milik negara bekerja sama dengan lembaga lain yang ditunjuk melalui proses yang transparan dan akuntabel serta menguntungkan negara.
Pelaksana Pencetakan Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus menjaga mutu, keamanan, dan harga yang bersaing.
Pengeluaran Rupiah dilakukan dan ditetapkan oleh Bank Indonesia, ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, serta diumumkan melalui media massa.
Rupiah yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebaskan dari bea materai.
Bank Indonesia menetapkan tanggal, bulan, dan tahun mulai berlakunya Rupiah.
Bank Indonesia merupakan satu-satunya lembaga yang berwenang mengedarkan Rupiah kepada masyarakat.
Pengedaran Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Bank Indonesia sesuai dengan kebutuhan jumlah uang beredar.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara mengedarkan Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Bank Indonesia.
Pencabutan dan Penarikan
Pencabutan dan Penarikan Rupiah dari peredaran dilakukan dan ditetapkan oleh Bank Indonesia, ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, serta diumumkan melalui media massa.
Pencabutan dan Penarikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan penggantian oleh Bank Indonesia sebesar nilai nominal yang sama.
Hak untuk memperoleh penggantian Rupiah yang telah dicabut dan ditarik dari peredaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku setelah 10 (sepuluh) tahun sejak tanggal Pencabutan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria penggantian atas Rupiah yang dicabut dan ditarik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Bank Indonesia.
Pemusnahan terhadap Rupiah yang ditarik dan peredaran dilakukan oleh Bank Indonesia yang berkoordinasi dengan Pemerintah.
Jumlah dan nilai nominal Rupiah yang dimusnahkan ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Kriteria Rupiah yang dimusnahkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
Rupiah yang tidak layak edar;
Rupiah yang masih layak edar yang dengan pertimbangan tertentu tidak lagi mempunyai manfaat ekonomis dan/ atau kurang diminati oleh masyarakat; dan/atau
Rupiah yang sudah tidak berlaku.
Bank Indonesia wajib melaporkan Pengelolaan Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 secara periodik setiap 3 (tiga) bulan kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
Untuk menjamin akuntabilitas pelaksanaan Pencetakan, Pengeluaran, dan Pemusnahan Rupiah, Badan Pemeriksa Keuangan melakukan audit secara periodik.
Pelaksanaan audit oleh Badan Pemeriksa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun.
Rupiah wajib digunakan dalam:
setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran;
penyelesaian kewajiban lainnya yang harus dipenuhi dengan uang; dan/atau
transaksi keuangan lainnya,yang dilakukan di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi:
transaksi tertentu dalam rangka pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara;
penerimaan atau pemberian hibah dari atau ke luar negeri;
transaksi perdagangan internasional;
simpanan di bank dalam bentuk valuta asing; atau
transaksi pembiayaan internasional.
Untuk memenuhi kebutuhan Rupiah di masyarakat dalam jumlah nominal yang cukup, jenis pecahan yang sesuai, dan dalam kondisi yang layak edar, Rupiah yang beredar di masyarakat dapat ditukarkan dengan ketentuan sebagai berikut:
penukaran Rupiah dapat dilakukan dalam pecahan yang sama atau pecahan yang lain; dan/atau
penukaran Rupiah yang lusuh dan/atau rusak sebagian karena terbakar atau sebab lainnya dilakukan penggantian dengan nilai yang sama nominalnya.
Penukaran Rupiah yang rusak sebagian karena terbakar atau sebab lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan penggantian apabila tanda keaslian Rupiah tersebut masih dapat diketahui atau dikenali.
Kriteria Rupiah yang lusuh dan/ atau rusak yang dapat diberikan penggantian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Bank Indonesia.
Penukaran Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Bank Indonesia, bank yang beroperasi di Indonesia, atau pihak lain yang ditunjuk oleh Bank Indonesia.
Setiap orang dilarang menolak untuk menerima Rupiah yang penyerahannya dimaksudkan sebagai pembayaran atau untuk menyelesaikan kewajiban yang harus dipenuhi dengan Rupiah dan/atau untuk transaksi keuangan lainnya di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, kecuali karena terdapat keraguan atas keaslian Rupiah.
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan untuk pembayaran atau untuk penyelesaian kewajiban dalam valuta asing yang telah diperjanjikan secara tertulis.
Setiap orang dilarang meniru Rupiah, kecuali untuk tujuan pendidikan dan/ atau promosi dengan memberi kata spesimen.
Setiap orang dilarang menyebarkan atau mengedarkan Rupiah Tiruan.
Setiap orang dilarang merusak, memotong, menghancurkan, dan/ atau mengubah Rupiah dengan maksud merendahkan kehormatan Rupiah sebagai simbol negara.
Setiap orang dilarang membeli atau menjual Rupiah yang sudah dirusak, dipotong, dihancurkan, dan/ atau diubah.
Setiap orang dilarang mengimpor atau mengekspor Rupiah yang sudah dirusak, dipotong, dihancurkan, dan/atau diubah.
Setiap orang dilarang memalsu Rupiah.
Setiap orang dilarang menyimpan secara fisik dengan cara apa pun yang diketahuinya merupakan Rupiah Palsu.
Setiap orang dilarang mengedarkan dan/atau membelanjakan Rupiah yang diketahuinya merupakan Rupiah Palsu.
Setiap orang dilarang membawa atau memasukkan Rupiah Palsu ke dalam dan/atau ke luar Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Setiap orang dilarang mengimpor atau mengekspor Rupiah Palsu.
Setiap orang dilarang memproduksi, menjual, membeli, mengimpor, mengekspor, menyimpan, dan/atau mendistribusikan mesin, peralatan, alat cetak, pelat cetak, atau alat lain yang digunakan atau dimaksudkan untuk membuat Rupiah Palsu.
Setiap orang dilarang memproduksi, menjual, membeli, mengimpor, mengekspor, menyimpan, dan/atau mendistribusikan bahan baku Rupiah yang digunakan atau dimaksudkan untuk membuat Rupiah Palsu.
PEMBERANTASAN RUPIAH PALSU
Pemberantasan Rupiah Palsu dilakukan oleh Pemerintah melalui suatu badan yang mengoordinasikan pemberantasan Rupiah Palsu.
Badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas unsur:
Badan Intelijen Negara;
Kepolisian Negara Republik Indonesia;
Kementerian Keuangan; dan
Ketentuan mengenai tugas, wewenang, dan tanggung jawab badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Presiden.
Kewenangan untuk menentukan keaslian Rupiah berada pada Bank Indonesia.
Dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia memberikan informasi dan pengetahuan mengenai tanda keaslian Rupiah kepada masyarakat.
Masyarakat dapat meminta klarifikasi dari Bank Indonesia tentang Rupiah yang diragukan keasliannya.
PEMERIKSAAN TINDAK PIDANA TERHADAP RUPIAH
Pemeriksaan tindak pidana terhadap Rupiah dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.
Alat bukti dalam perkara tindak pidana terhadap Rupiah meliputi:
alat bukti yang diatur dalam Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana; dan
alat bukti yang diatur dalam Undang-Undang ini, yaitu:
barang yang menyimpan gambar, suara dan film, baik dalam bentuk elektronik maupun optik, dan semua bentuk penyimpanan data; dan/atau
data yang tersimpan dalam jaringan internet atau penyedia saluran komunikasi lainnya.
Selain kewenangan Penyidik sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana, Penyidik juga berwenang untuk membuka akses atau memeriksa dan membuat salinan data elektronik yang tersimpan dalam arsip komputer, jaringan internet, media optik, serta semua bentuk penyimpanan data elektronik lainnya.
Untuk kepentingan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penyidik dapat menyita alat bukti dari pemilik data dan penyedia jasa layanan elektronik.
Dalam hal ditemukan terdapat hubungan antara data elektronik dan perkara yang sedang diperiksa, data elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampirkan pada berkas perkara.
Dalam hal tidak ditemukan adanya hubungan antara data elektronik dan perkara, data elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihapus dan Penyidik berkewajiban menjaga rahasia isi data elektronik yang dihapus.
Setiap orang yang tidak menggunakan Rupiah dalam:
setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran;
penyelesaian kewajiban lainnya yang harus dipenuhi dengan uang; dan/atau
transaksi keuangan lainnya,sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Setiap orang dilarang menolak untuk menerima Rupiah yang penyerahannya dimaksudkan sebagai pembayaran atau untuk menyelesaikan kewajiban yang harus dipenuhi dengan Rupiah dan/ atau untuk transaksi keuangan lainnya di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, kecuali karena terdapat keraguan atas keaslian Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Setiap orang yang meniru Rupiah, kecuali untuk tujuan pendidikan dan promosi dengan memberi kata spesimen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Setiap orang yang menyebarkan atau mengedarkan Rupiah Tiruan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Setiap orang yang dengan sengaja merusak, memo tong, menghancurkan, dan/atau mengubah Rupiah dengan maksud merendahkan kehormatan Rupiah sebagai simbol negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Setiap orang yang membeli atau menjual Rupiah yang sudah dirusak, dipotong, dihancurkan, dan/ atau diubah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Setiap orang yang mengimpor atau mengekspor Rupiah yang sudah dirusak, dipotong, dihancurkan, dan/atau diubah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling banyak Rp.10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Setiap orang yang memalsu Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling banyak Rp.10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Setiap orang yang menyimpan secara fisik dengan cara apa pun yang diketahuinya merupakan Rupiah Palsu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling banyak Rp.10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Setiap orang yang mengedarkan dan/atau membelanjakan Rupiah yang diketahuinya merupakan Rupiah Palsu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp.50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).
Setiap orang yang membawa atau memasukkan Rupiah Palsu ke dalam dan/atau ke luar Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana. dimaksud dalam Pasal 26 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp.50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).
Setiap orang yang mengimpor atau mengekspor Rupiah Palsu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (5) dipidana dengan pidana penjara paling lama seumur hidup dan pidana denda paling banyak Rp.100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
Setiap orang yang memproduksi, menjual, membeli, mengimpor, mengekspor, menyimpan, dan/ atau mendistribusikan mesin, peralatan, alat cetak, pelat cetak atau alat lain yang digunakan atau dimaksudkan untuk membuat Rupiah Palsu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama seumur hidup dan pidana denda paling banyak Rp.100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
Setiap orang yang memproduksi, menjual, membeli, mengimpor, mengekspor, menyimpan, dan/ atau mendistribusikan bahan baku Rupiah yang digunakan atau dimaksudkan untuk membuat Rupiah Palsu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama seumur hidup, dan pidana denda paling banyak Rp.100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
Dalam hal perbuatan tindak pidana se bagaimana dimaksud dalam Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35, serta Pasal 36 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) dilakukan oleh pegawai Bank Indonesia, pelaksana Pencetakan Rupiah, badan yang mengoordinasikan pemberantasan Rupiah Palsu, dan/atau aparat penegak hukum, pelaku dipidana dengan pidana penjara dan pidana denda maksimum ditambah 1/3 (satu per tiga).
Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) dilakukan secara terorganisasi, digunakan untuk kejahatan terorisme, atau digunakan untuk kegiatan yang dapat mengakibatkan terganggunya perekonomian nasional, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama seumur hidup dan pidana denda paling banyak Rp.100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
Pidana yang dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan ketentuan ancaman pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35, Pasal.36, atau Pasal 37 ditambah 1/3 (satu per tiga).
Dalam hal terpidana korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mampu membayar pidana denda, dalam putusan pengadilan dicantumkan perintah penyitaan harta benda korporasi dan/atau harta benda pengurus korporasi.
Selain sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36, atau Pasal 37, setiap orang dapat dikenai pidana tambahan berupa pencabutan izin usaha dan/atau perampasan terhadap barang tertentu milik terpidana.
Dalam hal terpidana perseorangan tidak mampu membayar pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35, serta Pasal 36 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), pidana denda diganti dengan pidana kurungan dengan ketentuan untuk setiap pidana denda sebesar Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah) diganti dengan pidana kurungan selama 2 (dua) bulan.
Lama pidana kurungan pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dicantumkan dalam putusan pengadilan.
Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 dan Pasal 34 adalah pelanggaran.
Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35, Pasal 36, dan Pasal 37 adalah kejahatan.
Rupiah kertas dengan ciri umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) mulai berlaku, dikeluarkan, dan diedarkan pada tanggal 17 Agustus 2014.
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Rupiah kertas dan Rupiah logam yang telah dikeluarkan oleh Bank Indonesia dinyatakan masih tetap. berlaku sepanjang belum dicabut dan ditarik dari peredaran.
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, peraturan perundang-undangan yang ada dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini.
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, ketentuan BAB X Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang pemalsuan Mata Uang dan uang kertas dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Pasal 2, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, dan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Peraturan perundang-undangan sebagai peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini harus sudah ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Diundangkan Di Jakarta, Pada Tanggal 28 Juni 2011
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Pada Tanggal 28 Juni 2011
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,
Diundangkan Di Jakarta, Pada Tanggal 28 Juni 2011
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Pada Tanggal 28 Juni 2011
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 64
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara yang merdeka dan berdaulat memiliki simbol kedaulatan negara yang harus dihormati dan dibanggakan oleh seluruh warga Negara Indonesia. Salah satu simbol kedaulatan negara tersebut adalah Mata Uang. Mata Uang yang dikeluarkan oleh Negara Kesatuan Negara Republik Indonesia adalah Rupiah. Rupiah dipergunakan sebagai alat pembayaran yang sah dalam kegiatan perekonomian nasional guna mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam Pasal 238 mengamanatkan bahwa macam dan harga Mata Uang ditetapkan dengan undang-undang. Penetapan dan pengaturan tersebut diperlukan untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi macam dan harga Mata Uang.
Rupiah sebagai Mata Uang Negara Kesatuan Republik Indonesia sesungguhnya telah diterima dan digunakan sejak kemerdekaan.
Dalam sejarah pengaturan macam dan harga Mata Uang di Indonesia setelah masa kemerdekaan, pernah dibentuk 4 (empat) undang-undang yang mengatur Mata Uang. Penerbitan keempat undang- undang tersebut bukan sebagai pelaksanaan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, melainkan sebagai pelaksanaan amanat Pasal 109 ayat (4) Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950.
Dalam kehidupan perekonomian suatu negara, peranan uang sangatlah penting karena uang mempunyai beberapa fungsi, antara lain sebagai alat penukar atau alat pembayar dan pengukur harga sehingga dapat dikatakan bahwa uang merupakan salah satu alat utama perekonomian. Dengan uang perekonomian suatu negara akan berjalan dengan baik sehingga mendukung tercapainya tujuan bernegara, yaitu mencapai masyarakat adil dan makmur. Selain itu, jika dilihat secara khusus dari bidang moneter, jumlah uang yang beredar dalam suatu negara harus dikelola dengan baik sesuai dengan kebutuhan perekonomian.
Karena melihat perannya yang sangat penting, uang harus dibuat sedemikian rupa agar sulit ditiru atau dipalsukan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Di sinilah peran otoritas yang profesional sangat diperlukan untuk menentukan ciri, desain, dan bahan baku Rupiah.
Kejahatan terhadap Mata Uang, terutama pemalsuan uang, dewasa ini semakin merajalela dalam skala yang besar dan sangat merisaukan, terutama dalam hal dampak yang ditimbulkan oleh kejahatan pemalsuan uang yang dapat mengancam kondisi moneter dan perekonomian nasional.
Pemalsuan uang dewasa ini ternyata juga menimbulkan kejahatan lainnya seperti terorisme, kejahatan politik, pencucian uang (money laundring), pembalakan kayu secara liar (illegal logging), dan perdagangan orang (human trafficking), baik yang dilakukan secara perseorangan, terorganisasi, maupun yang dilakukan lintas negara. Bahkan, modus dan bentuk kejahatan terhadap Mata Uang semakin berkembang. Sementara itu, ketentuan tindak pidana pemalsuan uang yang diatur dalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana belum mengatur secara komprehensif jenis perbuatan tersebut dan sanksi yang diancamkan. Dengan mempertimbangkan dasar pemikiran tersebut, perlu diatur macam dan harga Mata Uang, termasuk sanksi dalam suatu undang-undang karena hal itu merupakan suatu kebutuhan yang mendasar.
Undang-Undang ini mewajibkan penggunaan Rupiah dalam setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran, penyelesaian kewajiban lainnya yang harus dipenuhi dengan uang, dan/ atau transaksi keuangan lainnya, yang dilakukan di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap Rupiah akan berdampak pada kepercayaan masyarakat internasional terhadap Rupiah dan perekonomian nasional pada umumnya sehingga Rupiah memiliki martabat, baik di dalam negeri maupun di luar negeri dan Rupiah terjaga kestabilannya.
Undang-Undang ini menekankan pula pada Pengelolaan Rupiah yang terintegrasi, mulai dari perencanaan jumlah Rupiah yang akan dicetak, Pencetakan Rupiah, Pengeluaran Rupiah, Pengedaran Rupiah, serta Penarikan dan Pencabutan Rupiah sampai dengan Pemusnahan Rupiah dengan tingkat pengawasan yang komprehensif sehingga ada check and balances antar pihak yang terkait agar tercipta good governance.
Penegakan hukum terkait kejahatan Mata Uang, terutama pemalsuan Rupiah, memerlukan pengaturan yang memberikan efek jera bagi pelaku karena efek kejahatan tersebut berdampak luar biasa terhadap perekonomian dan martabat bangsa secara keseluruhan. Oleh karena itu, setiap orang yang melanggar ketentuan dalam Undang-Undang ini dikenai sanksi pidana yang sangat berat.
Secara garis besar materi muatan yang diatur dalam Undang-Undang ini meliputi (i) pengaturan mengenai Rupiah secara fisik, yakni mengenai macam dan harga, ciri, desain, serta bahan baku Rupiah;
(ii) pengaturan mengenai Pengelolaan Rupiah sejak Perencanaan, Pencetakan, Pengeluaran, Pengedaran, Pencabutan dan Penarikan, serta Pemusnahan Rupiah; (iii) pengaturan mengenai kewajiban penggunaan Rupiah, penukaran Rupiah, larangan, dan pemberantasan Rupiah Palsu; serta (iv) pengaturan mengenai ketentuan pidana terkait masalah penggunaan, peniruan, perusakan, dan pemalsuan Rupiah.
Selain simbol Rp (Rp ditulis tanpa tanda titik), dikenal juga IDR yang merupakan singkatan dari Indonesian Rupiah, biasanya digunakan dalam perdagangan internasional, baik dilaksanakan di dalam maupun di luar negeri.
Berkoordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat ini bertujuan untuk pemberitahuan dan pertukaran informasi sebagai bahan pertimbangan.
Berkoordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat ini bertujuan untuk pemberitahuan dan pertukaran informasi sebagai bahan pertimbangan.
Selama Undang-Undang mengenai perubahan harga Rupiah belum diundangkan, perubahan harga Rupiah tidak dapat dilakukan.
Penandatanganan oleh pihak Pemerintah diwakili Menteri Keuangan dan penandatanganan oleh pihak Bank Indonesia diwakili Gubernur Bank Indonesia.
Yang dimaksud dengan "bersifat terbuka (overt)" adalah unsur pengaman yang dapat dideteksi tanpa bantuan alat.
Yang dimaksud dengan "bersifat semi tertutup (semicovert)" adalah unsur pengaman yang dapat dideteksi dengan menggunakan alat yang sederhana seperti kaca pembesar dan lampu ultraviolet (UV).
Yang dimaksud "bersifat tertutup (covert/forensic)" adalah unsur pengaman yang hanya dapat dideteksi dengan menggunakan peralatan laboratorium/forensik.
Yang dimaksud dengan "pahlawan nasional" adalah pahlawan sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
Yang dimaksud dengan "bagian depan Rupiah" adalah sisi desain Rupiah yang terdapat gambar lambang negara "Garuda Pancasila".
Yang dimaksud dengan "tanda tertentu" mencakup warna, gambar, ukuran, besar, bahan Rupiah, dan tanda lainnya.
Yang dimaksud dengan "unsur pengaman" termasuk di dalamnya ciri atau tanda yang dapat dipergunakan oleh tunanetra.
Yang dimaksud dengan "berkoordinasi" adalah Bank Indonesia memberitahukan spesifikasi teknis dan ciri bahan baku Rupiah kepada badan yang mengoordinasikan pemberantasan Rupiah Palsu dalam upaya mencegah dan memberantas Rupiah Palsu, demikian pula badan yang mengoordinasikan pemberantasan Rupiah Palsu dapat memberikan masukan tentang aspek keamanan bahan baku Rupiah kepada Bank Indonesia.
Berkoordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat ini bertujuan untuk pemberitahuan dan pertukaran informasi sebagai bahan pertimbangan.
Yang dimaksud dengan "berkoordinasi" diwujudkan dalam bentuk pertukaran informasi antara Bank Indonesia dan Pemerintah, antara lain terkait dengan asumsi tingkat inflasi, asumsi pertumbuhan ekonomi, rencana tentang macam dan harga Rupiah, proyeksi jumlah Rupiah yang perlu dicetak, serta jumlah Rupiah yang rusak dan yang ditarik dari peredaran.
Untuk menjaga kualitas keamanan Rupiah, dalam Pencetakan Rupiah, Bank Indonesia meminta masukan dari badan yang mengoordinasikan pemberantasan Rupiah Palsu.
Yang dimaksud dengan "badan usaha milik negara" adalah badan usaha milik negara yang bergerak dalam bidang pencetakan Rupiah.
Yang dimaksud dengan "tidak sanggup melaksanakan Pencetakan Rupiah" adalah ketidaksanggupan yang disebabkan oleh keadaan kahar (force majeure) dan bencana sosial.
Yang dimaksud dengan "harga yang bersaing" adalah harga yang batasannya ditentukan berdasarkan peraturan perundang-undangan mengenai pengadaan barang dan jasa.
Penetapan Pencabutan Rupiah memuat pengaturan mengenai tanggal berakhirnya Rupiah sebagai alat pembayaran yang sah dan batas waktu penukaran Rupiah kepada bank, Bank Indonesia, atau pihak lain yang ditunjuk oleh Bank Indonesia.
Penarikan Rupiah meliputi penarikan dalam rangka Pencabutan dan penggantian Rupiah yang rusak atau lusuh.
Berkoordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat ini diwujudkan dalam bentuk nota kesepahaman antara Bank Indonesia dan Pemerintah yang berisi teknis pelaksanaan Pemusnahan Rupiah, termasuk pembuatan berita acara Pemusnahan Rupiah.
Yang dimaksud dengan "Dewan Perwakilan Rakyat" adalah alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat yang membidangi keuangan dan perbankan.
Yang dimaksud dengan "transaksi keuangan lainnya" antara lain meliputi kegiatan penyetoran uang dalam berbagai jumlah dan jenis pecahan dari nasabah kepada bank.
Yang dimaksud dengan "Rupiah yang lusuh" adalah Rupiah-yang ukuran dan bentuk fisiknya tidak berubah dari ukuran aslinya, tetapi kondisinya telah berubah yang antara lain karena jamur, minyak, bahan kimia, atau coretan.
Yang dimaksud dengan "Rupiah yang rusak" adalah Rupiah yang ukuran atau fisiknya telah berubah dari ukuran aslinya yang antara lain karena terbakar, berlubang, hilang sebagian, atau Rupiah yang ukuran fisiknya berbeda dengan ukuran aslinya, antara lain karena robek atau uang yang mengerut.
Yang dimaksud dengan "merusak" adalah mengubah bentuk, atau mengubah ukuran fisik dari aslinya, antara lain membakar, melubangi, menghilangkan sebagian, atau merobek.
Dalam memberikan penjelasan informasi dan pengetahuan tentang keaslian Rupiah, Bank Indonesia dapat bekerja sama dengan pihak lain.
Untuk menyerahkan dan/ atau membuka data elektronik dimaksud, Penyidik melakukannya dengan memberikan tanda terima.
%PDF-1.5 %µµµµ 1 0 obj <>>> endobj 2 0 obj <> endobj 3 0 obj <>/ExtGState<>/Font<>/ProcSet[/PDF/Text/ImageB/ImageC/ImageI] >>/Annots[ 16 0 R] /MediaBox[ 0 0 612 792] /Contents 4 0 R/Group<>/Tabs/S/StructParents 0>> endobj 4 0 obj <> stream xœµZ[s›È~w•ÿÃ<ÂVŒ†ëÖÖÖÁ‘cËŽe¯%åTj³È"6‘@:¤jÿýéîБ‹=ñƒÌ¥»¿þú2Ƚx]fŸ“Ç’ýñG/.Ëäñ9�±¿{ãåêŸÞøßUÚ»Ož²")³eÑUÓ]¥É,]ÿù';ï¿e½Ë‘Ïž6§'ÿ;=±™mÙðçs[xÌç"‡ÓÓ“ÿþÆŠÓ׬Àc0�¹·l�ã¾myì1?=é òä)õXÉþ’ûÑnvÙG¶;ÚwœqØÊeãϧ'œöæ°e;.\ÏòC6ÎQµ'˜|9ŠHW›]žžüm0ó6¾>=¹€�~H¢&µ„cÁW£Ö+´a·à‚'ž/Ër™wûñÝrY6~Ô`—çX®¯Ç. Úˆˆ¾´¡Ìz÷ˆïíÛAŸÙ? °ÜÙ×QX‘L°C+tZ:ŽÍ3ǯcS“Øt�!ûŸ“ø˜gÜ6úƒ»7C#Åïq2s4Ï<#3‡M†æ™oôiéåÏÜ¡²pC˺T>Ó%Hä‹.)`—kôͳÀˆ‡hì%@À†wæYdÜÂÈÝØNàÅW4•9¶cÿ´Ç;TC¢·ß<<î³üŽA9!uCÍîMÎÕÈÌF|Ã1é·?þ€£�ÈÕí)Ü!;åäJQÖ²!Ïå¥é1^ Ç C_nG�éAÃãÀÑ…†.:„œ‚؇ÂávÑ�XNFK6(&pB®Í†nGÝÀ œSü]Ç7f¤@d7&D Ný\Z¨†‡µW.cr¢.ÎE�% Oø®om”¥él&�{Ïïñ{ 96b#t÷ L¶V#<¬1u²‡ždYHÏ$ÉöC*®ÃÔ³ÏW M¿Få^ˆ‹8Ä…ÛPB�}ŽüháòåÝ=Ü¡wcJ�LƒDf2b�=)R+Ö¤‘#lKˆ.�F(ùBfj›GºèážeG]B?žq÷aÐוœ!æmÞ%N[ p+ º¤ðè“Éú¦b[/–>AæQ8¼—NêÝÖl|�u9ëB @`Úž%Ú�Ù$i¨¾;W±¬YøA¡1`”yÞÆ6·MªÿH÷r «‹Z<ç�eWñG4éf›š�ei¸¸1Ê"<�ùp@ò´UBay�•¼Ðµü¶‡(5áwÃø=¸e×S¨é¤+e�Ará¬RVÐÎX’„l‹ô5Aܧ,3Akwƒ¦šç¸èí»uñß "Ë÷˜çC�ئV«æi :8“@úêz@œV?Ì_ÛÛÇã '<‹{?-ÞùIñnr½mÄ<Ð"à-ññ“ �W�™î†g,v›Àõ3~Ìž³9ÅÞô¸Çmιí/sMK9 Kð.徇�x-6<€Îë¡e‹v²Ü¤ªôŸ¶ˆN>ÍðR}O”ËnSˆG0›³·òÏUžd3‚𠣘·®¬7·ÖL¬rMȹBXaÐ¥û÷�s_�œìÚ\7²D›Ô“c‘£é»ªæUþ†rþ;èÖ—yµ(q¯7š q<ìC£–‡#RÂoH¹Â´…æ²I‘}M×@ŸMV"'ÈRv[APÁ”<¯Ï(¸þ5›nŸÙ5��%Û`Mdñ!÷D?ˆM‹,Þ«S�#Asl